Preeklamsia di Kehamilan Pertama

Semuanya adalah pengalaman pertama bagiku. Pada 10 Juni 2012, aku menikah dan pada bulan kedua pernikahan, aku positif hamil. 

Sebelumnya, pada seminggu usai pernikahan, tiba-tiba aku demam. Karena ketika itu dalam kondisi haid, nyeri haid pun tak tertahankan sampai aku muntah-muntah. Ini adalah sakit terparah setelah sekian tahun. Bunda kemudian mengajak ke klinik terdekat, hasilnya hanya demam, maag dan nyeri haid biasa. Setelah masa haid selesai, nyeri dan demam berkurang. Namun pusing dan mual masih terus ada, perasaan lemah serta mudah lelah muncul. 

“Aku ini kenapa?”

Ternyata ini efek hamil! Menjadi ibu hamil adalah idamanku sejak dulu. Kesannya lucu, ada banyak keluhan yang dirasa. Anehnya, makin lama kian bertambah payah yang dirasa. Hingga pada trimester akhir, dokter menyarankan untuk cek kesehatan lengkap.

“Hasil tes menyatakan protein ibu +2,” ujar dokter. Aku dan suami bengong. “Ini menyebabkan Preeklamsia atau keracunan kehamilan.” Seolah mengerti akan reaksi kami, dokter itu pun tersenyum. “Jangan khawatir. Ibu diet ya, kurangi konsumsi garam. Semoga bisa membantu dan nantinya dapat melahirkan secara normal.”

Berat badanku memang naik lebih dari 100% dari sebelum hamil. Bila sebelum hamil sekitar 35-37 Kg, setelah trimester 3 malah jadi 75 Kg. Seluruh badan bengkak, mulai dari muka sampai ujung kaki. Kalau sedang duduk lesahan kemudian bangkit, harus memakai bantuan karena tidak bisa bangun sendiri. Rasanya tidak kuat menopang badan, kaki sering kram. Anehnya, tekanan darah hanya seputaran 90/100 mmHg, bertahan segitu hingga masa mau melahirkan.

Soal konsumsi garam, sebenarnya di awal kehamilan sudah diingatkan oleh teman-teman. Dulu sebelum hamil, tiap makan buah entah itu apel, anggur, melon, semangka, apapun jenis buahnya selalu pakai garam. Saat hamil sudah tidak lagi. Tapi sebelum menikah, ketika kuliah dan jarang pulang ke rumah, aku selalu bawa kecap asin dalam tas karena warung makan jarang yang sedia kecap asin. Pokoknya dulu aku mania asin. Inilah pentingnya menjaga kesehatan dari usia dini sebelum menikah, karena kesehatan bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk anak-anak yang dikandung dan dilahirkan kelak.

Tanggal 26 Maret 2013 mendekati masa Hari Prediksi Lahiran (HPL), pukul 07.00 WITA keluar bercak darah, tapi hanya sedikit. Kebetulan rumahku bersebelahan dengan rumah mertua, jadi kusampaikan pada beliau. Katanya itu adalah tanda mau melahirkan, jadi aku disarankan tak perlu masuk kerja. Karena aku tidak suka tinggal di rumah sendirian, suami tetap mengantarkanku ke kantor. 

Pukul 11.00 WITA, saat di kantor, darah yang keluar semakin banyak. Suami lalu menjemputku dan membawaku ke puskesmas terdekat. 

“Ini harus segera dibawa ke rumah sakit,” kata bidan yang memeriksa saat itu. “Sudah positif keracunan kehamilan. Kalau dipaksa lahir normal nanti ibunya bisa kejang saat mengejan. Takutnya anaknya ikut kejang, bisa meninggal dua-duanya.” 

Aku dan suami saling berpandangan. Perasaan gugup dan takut menyelimuti hati kami. Dibantu oleh bidan senior di puskesmas tersebut, kami memutuskan untuk ke Klinik Ibu dan Anak yang ada di Samarinda, tepat biasa kami chek up tiap bulannya. 

Setibanya di sana, aku disambut seorang perawat. Pukul 14.00 WITA, dokter mengecek pembukaan dan tak ada pembukaan sedikitpun. Mereka tidak berani memberikan suntik rangsangan agar terjadi pembukaan karena khawatir aku mengalami kejang yang berakhir fatal. Kemudian jam 9 malam, aku masuk ruang operasi dan tak lama kemudian bayi pertama kami lahir. Ia bayi laki-laki yang sehat dengan tangisan kencangnya. 

Mendengar tangisan itu, tiba-tiba aku teringat bahwa sedang berada di meja operasi dan perutku sekarang pasti terbuka lebar. Rasa takut dan panik akibat khayalan aneh membuatku histeris lalu pingsan. Usai berpakaian lengkap, aku baru sadarkan diri dan dibawa ke ruang recovery. Semua sudah terlewati, bayi yang dinanti hadir di sisi, selanjutnya tinggal pemulihan pasca operasi.

“Tadi ibunya sempat stres dan histeris hingga pingsan, Pak. Tapi sekarang sudah baik-baik saja, kok,” ujar perawat yang mengadu ke suamiku. Eh tepatnya memberi informasi, kali’ yaa... “Ibu banyak-banyak minum air putih. Nanti kalau air kencingnya sudah bening, berarti obatnya sudah habis. Setelah itu baru kami lepas catheter-nya.” Perawat ramah itu juga menjelaskan perihal selang kencing sambil memberikan beberapa obat yang harus kuminum saat itu.

Alhamdulillah wasyukrillah... Allah memberi kesempatan hingga kami berkumpul membina keluarga sakinnah, mawadah, warahmah. Semoga bisa diambil hikmah dan dapat menjaga kesehatan mulai dari sekarang untuk mendapatkan generasi yang sehat jasmani juga rohaninya.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)

Penulis: Mariatul Kiftiah, Tenggarong, Kalimantan Timur.

Mariatul Kiftiah
NewerStories OlderStories Home

0 komentar:

Post a Comment