ASI dan Susu Formula (Sufor) seringkali dibuat seakan bermusuhan. Keduanya diadu-adu mana yang terbaik bagi bayi. Ibu-ibu yang berhasil memberi ASI eksklusif pada bayinya, kadang lupa diri dan mem-bully ibu lain yang memutuskan untuk memberi sufor. Padahal, keputusan untuk tidak ASI eksklusif adalah sesuatu yang sangat berat mengingat setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi buah hatinya. Dan, mayoritas kita meyakini bahwa ASI-lah makanan terbaik bagi bayi.

Seperti yang pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya, (baca: Ketika Baby Blues Syndrome Menyerang), ASI saya baru keluar di hari ke-4 pasca persalinan. Bayi saya telah diberi sufor dengan dot sehingga ia bingung puting. Terlebih lagi dengan puting yang rata dan kurangnya pengetahuan tentang laktasi, membuat saya kewalahan tiap kali mencoba menyusui. Saya telah mencoba beberapa posisi, juga mencoba menyambung puting. Tapi kadang, prosesi menyusui tetap berakhir dengan helaan nafas panjang dan kekecewaan ketika melihat si kecil yang meraung hebat diambil mama untuk diberi dot (lagi). Seperti kebanyakan ibu yang gagal ASIX, saya pun sempat merasa gagal menjadi ibu.

Tak ingin menyerah begitu saja, saya kemudian memutuskan untuk memompa ASI. Hasil pompa pertama saya tak lebih dari 10 ml, padahal sakitnya minta ampun. Meski sangat sedikit, tapi harapan saya sangat besar ketika melihat si kecil meminumnya. Yang penting bayi saya mau ASI, saya hanya perlu berusaha lebih keras lagi.

Saya mulai browsing tentang ASIP. Mulai dari cara memompa, memperbanyak ASIP, juga cara menyimpan dan menyajikan ASIP untuk bayi saya. Saya berharap nanti ia bisa lepas dari sufornya dan menjadi bayi ASI penuh.

Karena saya tidak menyusui langsung, saya harus rajin memompa ASI. Paling tidak, 2 jam sekali saya harus memompa dengan pompa ASI manual saya. Berapa pun yang saya dapat, langsung dilahap habis oleh si kecil. Itulah yang kemudian membuat saya bersemangat. Saya rela meski harus bolak-balik mencuci pompa, saya rela bangun sendirian malam-malam untuk memompa sebelum bayi saya bangun dan merengek haus. Saya rela menghabiskan waktu saya demi kucuran ASI itu. Dalam sehari minimal saya memompa 10 kali. Satu kali memompa setidaknya setengah jam waktu yang saya butuhkan. ASI yang awalnya sedikit itu lambat laun jadi melimpah. Bayi saya memang tidak sepenuhnya lepas sufor, tapi ia mengonsumsi ASI jauh lebih banyak dari sufor. Sufor dibuat hanya untuk menunggui saya bila belum selesai memompa sementara si kecil keburu lapar. Itu pun kemudian sufornya dibuang ketika ASI saya siap.

Bayi saya tumbuh sehat dan gemuk. Di hari ke-30 kelahiran, beratnya sudah 5 kg. Di umur 2 bulan, beratnya naik menjadi 6,5 kg. Tentu saja saya bahagia sekali. Perjuangan saya tak sia-sia rasanya. 

Saya berusaha sebisa mungkin untuk menepati jadwal memompa yang sebenarnya berat dan banyak godaannya. Rasa capek, rasa kantuk, kadang juga rasa malas menyerang, tapi seolah telah saling membutuhkan, saya tak bisa dengan sengaja meninggalkan rutinitas itu. Pernah tanpa sengaja saya melewatkan 1 jadwal memompa, saya langsung demam. Mungkin karena produksi ASI yang melimpah membuat saya harus terus menyalurkan ASI itu agar tidak bengkak yang berujung demam.

Semakin besar, rupanya kebutuhan ASI si kecil meningkat. Saya sering kejar-kejaran memompa karena hasil pompa yang tadinya cukup untuk 2 kali minum, jadi cukup untuk satu kali saja. Saya tidak menyimpan ASI di kulkas seperti kebanyakan ibu bekerja menyetok ASI-nya. Tidak, saya pernah mencoba melakukan itu, tapi bayi saya menolak ASI yang telah dihangatkan. Beberapa kali mencoba, ASI saya terbuang percuma karena si kecil tak mau meminumnya.

Saya mulai kesulitan mematuhi jadwal memompa ketika saya kembali membantu suami di toko. Saya berkeras untuk membawa si kecil bersama saya. Apalagi bayi saya juga suka keluar. Di toko tanpa bantuan mama, membuat saya sering melewatkan jadwal memompa karena tak ada yang menjaga si kecil jika saya memompa. Apalagi saat itu ia mulai bisa merangkak. Memompa yang sejatinya butuh ketenangan tak akan berhasil jika terus-terusan was-was mengawasi si kecil. Ditambah lagi jika suami keluar dan saya berdua si kecil yang menjaga toko, saya tak mungkin bisa memompa karena takut kalau-kalau ada pelanggan yang datang. Karena itu, saya mulai sering demam. ASI saya pun mulai ngambek. Produksinya tak lagi sebanyak dulu, padahal, bayi saya butuh ASI yang lebih banyak lagi.

Karena kurang, maka sufor yang tadinya hanya untuk ngedot bohongan itu kemudian beralih menjadi penyambung ASI. Semakin bertambah kepintarannya, saya pun makin morat-marit memompa karena harus ekstra menjaganya yang mulai berdiri dan merayapi meja. Keadaan mulai berbalik, sufor kini mendominasi. ASI saya makin seret. Beberapa cara saya coba untuk mengembalikan produksinya, tapi tidak berhasil karena saya pun sebenarnya tahu pasti bahwa jadwal memompa yang tak teratur itulah masalahnya.

Sampai usia bayi saya masuk ke 14 bulan, saya masih berusaha untuk memberikan ASI meski produksinya jauh dari cukup. Dari yang memompa 2 jam sekali, menjadi 2 kali sehari, dan sekarang 1 kali sehari dengan hasil tak lebih dari 30 ml. Sedih, tapi untung si kecil sudah bisa makan. Jadi kebutuhannya tetap terpenuhi.

Maka, jika saya melihat postingan yang kesannya menyudutkan para ibu yang tak bisa ASIX, rasanya tak adil sekali. Karena saya yakin, seperti halnya saya, ibu yang akhirnya memberi sufor pada bayinya juga telah lebih dulu berusaha keras agar si kecil menerima haknya. Saya kagum pada ibu-ibu yang berhasil ASIX, tapi nyesek jika ibu-ibu itu lantas mendiskreditkan anak yang minum sufor. ASI memang yang terbaik, tapi bukan berarti anak yang tidak ASIX itu buruk.

Jadi, kalau ditanya orang, "Si kecil anak ASI atau anak sufor?"
Cukup jawab, "Ini anak saya!"

Ini anak saya!
Malam itu tepat jam 3 dini hari, bertepatan dengan waktunya orang bangun makan sahur, aku melahirkan seorang gadis mungil. Semua rasa sakit yang kurasa sejak ba'da maghrib, hilang berganti rasa bahagia yang tiada terkira. Aku dan bayiku kemudian dibersihkan, tapi tidak dimandikan karena hari masih terlalu malam untuk mandi. Setelah bersih, aku disarankan untuk memberikan ASI. Namun betapa sedih hatiku, yang keluar hanya setetes. Aku tetap berusaha memberikan puting susu pada bayiku, dengan harapan bila terus dihisap bayi maka akan memancing ASI keluar dengan lancar. Tapi ternyata sampai siang pun, ASI tetap tidak mau keluar. 

Hari berganti malam. Aku masih berharap dapat memberikan ASI eksklusif pada bayiku, tapi semua usahaku tak membuahkan hasil. Bayiku menangis tak berhenti, mungkin karena haus. Sedih hatiku, sayangnya tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya suami pergi mencari susu formula. Bayiku lalu berhenti menangis setelah minum pengganti ASI tadi. 

Dalam hati, aku menangis dan bertanya-tanya, “Apakah aku melakukan kesalahan sehingga ASI tak mau keluar?” 

Beberapa hari setelah itu, kondisi tidak banyak berubah. ASI hanya mau keluar sedikit saja, padahal payudaraku sudah membesar dan tegang. Tetangga yang datang menjenguk banyak memberikn saran, mulai dari harus begini-begitu, makan ini-itu, semua kucoba. Memang semakin lama ASI sudah mau keluar, namun hanya sedikit. Bayiku masih harus tetap minum susu formula agar tidak menangis terus. 

Orang bilang, lidah bayi itu tajam dan itu sangat kurasakan. Terlebih untuk puting kananku. Karena bentuknya kecil, bayiku harus menghisap ASI dengan sangat kuatnya. Aku harus menahan rasa sakit dengan menghentakkan gigiku. Akhirnya karena tidak kuat sakitnya, kusambung puting kananku dengan dot. Jadi kalau bayiku mau menyusu, kutempelkan dot itu ke puting, baru bayiku menyedotnya. Saat itu ASI sudah mau keluar, tapi jumlahnya tetap tidak mencukupi kebutuhan bayi. Ia masih tetap harus diberi susu formula, terlebih di malam hari.

Suatu hari, tiba-tiba badanku menggigil dan panas. Ini efek dari menahan rasa sakit di puting susu. Mamah saja heran kenapa putingku bisa luka padahal sudah disambung dot. Setelah aku minum obat dari bidan, yang kurasa adalah ASI mulai berkurang kembali. Sakitku ternyata tidak hanya sekali. Hingga sakit yang ketiga kalinya, aku tak mau minum obat lagi. Kubiarkan saja hingga sembuh sendiri. Memang menyiksa, tapi lebih menyiksa lagi kalau kurasakan ASI berkurang. 

Kondisi menahan sakit saat menyusui ini berlangsung hingga hampir 2 bulan. Walaupun sakit, aku kekeuh memberikan ASI. Aku tidak mau kalau bayiku hanya minum dari botol. Untungnya, bayiku sangat pengertian. Dia tetap mau minum ASI walau juga minum susu formula. Padahal kebanyakan bayi yang kalau sudah diberi susu formula, tidak mau lagi minum ASI. 

Perlahan tapi pasti, aku mulai menambah porsi makanku. Secara perlahan pula luka di puting kanan mulai sembuh. Kemudian aku memberanikan diri memberikan ASI langsung tanpa bantuan dot. Awalnya terasa sakit, tapi lama-lama aku bisa menyusui seperti biasa. Berkat perjuangan dan usahaku memperbanyak ASI, Alhamdulillah kini ASI melimpah. Aku tidak harus memberikan susu formula lagi pada anakku. Ternyata menambah porsi makan efektif untuk memperbanyak ASI. 

Memang sewaktu belum menikah bahkan saat hamil, makanku sangat sedikit. Mamah dan keluargaku sering menyebut makananku sebagai makanan kucing saking sedikitnya. Kini demi anakku, porsi makan bertambah 3 sampai 5 kali lipat. Kalau timbul rasa lapar jam berapapun itu, kapanpun itu, aku langsung makan! Padahal dulu, tidak pernah sarapan nasi. Tapi sekarang, tidak bisa kerja apa-apa kalau belum makan.

Kini putriku berumur 6 bulan. Adzkia Saufa Ramadhani namanya. Semoga menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Hermawati, guru honor dengan akun facebook Erly ThepowerofLove ini lahir di Maluku Tengah, 02 Desember 1986. Ia tinggal di Desa Wonosari, Kec. Seram Utara Timur Seti, Kab. Maluku Tengah. Hobinya membaca buku.

Hermawati
Sabtu, 23 November 2013 pukul 02.59 WITA adalah hari yang paling membahagiakan untukku dan suami. Hari itu, lahir putri cantik yang kami beri nama Zahra melalui persalinan normal di usia 33 minggu kehamilan. Ia lahir prematur dan memiliki berat badan rendah 2,1 Kg. Kecil dan mungil sekali. Ia dirangsang lahir karena diare yang terjadi padaku mengakibatkan air ketuban merembes sehingga dokter kandungan menyarankanku untuk segera bersalinan. Ada yang mengatakan bahwa aku beruntung masih diberi kesempatan untuk melahirkan secara normal, karena jika ibu hamil mengalami kejadian seperti itu maka kemungkinann besar akan bersalin lewat operasi.

Kini aku adalah seorang ibu. Aku sangat bersyukur diberi kesempatan merasakan nikmat melahirkan dan menjadi ibu. Tak ada proses belajar sebelumnya, semua seolah mengalir begitu saja. Inilah kekeliruanku yang berdampak setelah melahirkan. Akhirnya ... Aku masih takut dan belum benar menggendong anakku. Karena itulah perlu beberapa hari, aku baru bisa menggendong dan memeluknya dengan benar. Selain itu, tekadku harus memberi buah hatiku ASI eksklusif minimal 6 bulan. Siapa yang tidak mengetahui bahwa di dalam ASI banyak sekali kandungan yang bermanfaat untuk buah hati. Ada zat besi, vitamin, protein, kalsium dan lain-lain. Tentunya itu sangat membantu untuknya yang terlahir prematur.

Alhamdulillah ... beberapa jam paska melahirkan, saat dia keluar dari dalam incubator, ASI sudah bisa kuberikan padanya. Rasanya, Subhanallah ... menakjubkan sekali bisa merasakan nikmat menyusui. Berat badan rendah membuatnya perlu sekali ASI untuk membantu pertumbuhannya agar organ tubuhnya kian sempurna.

Ia mungil sekali, sehingga ada yang mengatakan mungil seperti botol. Sedih? Pasti. Namun, inilah ketentuan dari-Nya. Semua orang pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna. Di kala aku sedih, suami menghiburku dengan mengatakan, “Bersyukur diberi kepercayaan sama Allah. Itu adalah rezeki yang tak terhingga. Yuk, kita berikan yang terbaik untuk Zahra.”

Menjadi ibu haruslah siap. Siap untuk apa pun. Salah satunya siap begadang. Selain demi menyusui, juga untuk mengganti popok si kecil yang basah. Aku merasakan tidur tidak teratur, mungkin hanya 2 atau 3 jam. Sungguh luar biasa yang namanya Ibu.

Pernah suatu hari, seorang teman berkunjung ke rumah. Ia senang bertemu Zahra dan tidak segan menggendongnya. Ia amati wajah Zahra yang kata orang mirip sekali dengan abinya. Saat itu ia mengatakan wajah Zahra agak kekuningan. Aku terkejut, mengapa demikian? Lalu kusampaikan hal itu pada mama. 

Beliau mengatakan, “Ah, biasa bayi seperti itu. Disusui saja terus tiap 2 jam sekali. Kalau dia tidur, dibangunin. Kalau ada sinar matahari pagi, coba dijemur!” 

Aku lakukan apa yang disarankan Mama. Tapi setelah beberapa hari, tidak ada perubahan. Hingga kulihat matanya agak sedikit kekuningan. Aku khawatir, berharap bukanlah sesuatu yang membahayakan. Lalu Zahra kubawa ke pelayanan kesehatan terdekat. Hasil pemeriksaan menunjukkan kadar bilirubinnya masih normal, hanya perlu terus diberi ASI dan rutin dijemur antara jam 7 – 9 pagi hari selama 15-30 menit. Mungkin aku harus bersabar sedikit untuk melihatnya bebas dari kekuningan. Perlu diketahui, apabila kadar kadar bilirubin tinggi akan mengakibatkan komplikasi yang dapat merusak otak si kecil.

Beberapa hari kemudian, Zahra tidak kuning lagi. Senang sekali. Wajah merahnya kembali seperti semula. Tapi masalah baru muncul, ada bintik merah kecil menghinggapi pipinya. Sepupuku yang melihat mengatakan, “Mungkin hanya kena ASI, coba diberi baby oil sesering mungkin”. Aku yang tidak tahu apa penyebabnya, menurut saja. Namun bintik-bintik merah kecil itu bukannya hilang, malah semakin bertambah hingga ke lehernya. 

“Apa lagi sih yang mengganggumu? Sabar ya, Sayang!”

Aku mencoba untuk tidak khawatir, tapi tetap tidak bisa. Segera aku dan suami membawa buah hati kami ke dokter anak. Kemungkinan alergi beberapa jenis makanan atau alergi susu sapi, itu yang disampaikan dokter anak. Aku dan suami bingung, alergi susu sapi? Zahra kan hanya minum ASI? Ternyata bisa jadi, makanan yang kukonsumsi dan mengandung susu sapi terbawa ke ASI sehingga dia yang terkena. Setelah itu, tidak ada lagi susu cokelat dan apa pun yang mengandung susu sapi yang dapat kukonsumsi. Sedihnyaa ... tapi demi buah hatiku, apa pun pasti akan kulakukan. Alhamdulillah, setelah usia Zahra 1 tahun, ia sudah tidak alergi susu sapi lagi.

Masa 3 bulan cuti melahirkan akhirnya usai. Untuk karyawan honorer sepertiku, sungguh sangat menyenangkan dapat kesempatan cuti selama itu. Setelah itu menjadi masa yang sangat menyedihkan, aku harus meninggalkan Zahra bersama orang lain. Akan tetapi, kami tetap komitmen memberinya ASI hingga minimal 6 bulan. Jadi selama di tempat kerja, aku mencari waktu luang dan tempat yang aman untuk memompa ASI. Tips yang kudapat agar ASI banyak yang keluar yakni tetap rileks dan santai ketika memompa agar ASI bisa terkumpul banyak. Pemompa ASI, botol kaca untuk ASI dan tas baby menjadi faktor pendukung yang sangat membantu proses pengiriman ASI untuk Zahra. Suami dengan senang hati mengambil ASI anakku dari tempat kerja. Semua kami lakukan untukmu, Nak ...

Pernah suatu hari, ASI yang kustok ternyata tidak mencukupi. Zahra menangis karena haus. Stok ASI yang juga ada padaku, yang kusimpan dalam kulkas kantor, juga belum diambil suami. Karena haus yang tak tertahankan, akhirnya tanteku yang menjaga Zahra saat itu memberinya sedikit susu sapi sambil menunggu abinya membawa ASI dari tempat kerja. Alangkah terkejutnya tante ketika melihat seluruh badan zahra berubah kemerahan. Ini karena Zahra alergi susu sapi. 

Selama 6 bulan dia mendapat ASI ekslusif. Alhamdulillah ... Meski prematur, ASI-nya terpenuhi. Padahal sejujurnya puting payudara saya hanya satu yang berfungsi dengan baik. Yang banyak mengeluarkan ASI hanya sebelah kanan, sedangkan yang sebelah kiri tidak bisa karena putingnya datar. Semangat untuk memberikan ASI ekslusif yang begitu kuat, dorongan dari suami serta melihat Zahra yang sangat membutuhkan, membuat saya bisa menyusui si kecil selama 6 bulan. 

Kini dia sudah menginjak 14 bulan dan masih minum ASI, dibantu dengan MPASI dan susu formula. Meski premature, dia tumbuh dan berkembang sesuai usianya. Saat ini bahkan Zahra sedang belajar berjalan. 

Ah ... Bersyukur menjadi seorang wanita, memiliki nikmat mengandung, melahirkan dan menyusui. Terima kasih Allah atas nikmat tak terhingga ini. Terima kasih ...

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Nur Ayu Saputri, biasa disapa Ayu ini lahir di Samarinda, 11-09-1989 dari pasangan H. La Djangka dan Hj. Nursiah. Saat ini tinggal dan menetap bersama suami berdarah suku Gayo yang bernama Win Salamsyah Lingga di kota Medan, Sumatera Utara. Memiliki seorang buah hati yang cantik bernama Zahratul Mirotsa Lingga yang kini berusia 14 bulan. Kegiatan sehari-hari selain menjalankan kewajiban sebagai seorang istri dan seorang ibu, juga membantu menjalankan usaha Ummina Tour and Travel bersama suami. Senang mendengarkan musik beraliran pop song, menyukai membaca novel karya Tere Liye dan saat ini senang sekali memasak. Untuk menjalin tali silaturahim, Fb: @ummu zahra ummina travel WA.082352324590.

Nur Ayu Saputri
Sabtu, 13 September 2014

Hari ini adalah hari ke-14 setelah jadwal haid yang seharusnya, tapi belum ada tanda-tanda akan haid. Aku dan suami adalah pasangan pengantin baru. Haid terakhirku datang pada malam setelah kami melangsungkan akad nikah di kediaman kedua orangtuaku, Kamis malam selepas Isya tanggal 31 Juli 2014. Kami yang berprofesi sebagai guru honorer di sekolah negeri dan swasta di kota kami, diberikan cuti menikah selama satu minggu. 

Aku masih berpikir bisa jadi stres memicu terlambatnya haid karena jam mengajarku begitu padat. Setelah kucoba tes pakai testpack, tak sampai 2 menit keluar hasilnya. Ada dua garis yang masih samar. Aku berteriak kecil dalam hati, semua rasa campur aduk. Senang tak terkira, tapi di satu sisi juga merasa takut. Karena masih belum begitu percaya, esok kucoba lagi dengan urin pertama setelah bangun tidur.

***

Selasa, 16 September 2014

Tadi aku dan abang ke Klinik Bidan Mamit, tapi yang menjaga bukan Bidan Mamit melainkan asistennya, seorang bidan muda. Setelah kusampaikan keluhanku, bidan muda itu menanyakan testpack yang menunjukkan dua garis samar. Fiuh, untung saja kubawa. Setidaknya ini ada bukti yang bisa ditunjukkan. 

“Oo.. Ini masih samar, Bu. Jadi kalaupun hamil kemungkinan besar janinnya masih lemah. Hati-hati, masih rawan. Jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk dan lelah. Untuk memastikannya, coba seminggu ke depan testpack lagi lalu hasilnya bawa ke sini. Kemungkinan kalau memang hamil, garisnya sudah lebih terang.” 

***

Senin, 29 September 2015

Aku dan abang kembali mengunjungi Klinik Bidan Mamit. Tak lupa kubawa hasil testpack terakhirku, garisnya sudah lebih jelas dibanding yang pertama dan kedua. 

“Nah, sudah jelas garisnya. Insyaa Allah ini memang hamil dan janinnya sudah mulai kuat.“

Berdasar hasil pemeriksaan, janinku berumur kurang lebih 8 minggu. EDD (Estimated Delivery Date) atau biasa disebut bidan Hari Perkiraan Lahir (HPL) adalah 7 Mei 2015. Bayangkan, Mei nanti aku akan menimang bayi.

Pulangnya Abang membelikan susu ibu hamil merek Prenagen dengan label Mommy, lalu aku dan Abang mampir ke rumah Mamak-Bapak untuk mengabarkan bahwa sudah ada dedek bayi di perutku. Pulang ke rumah pun langsung kukabarkan hal ini pada ibu mertua. Beliau senyam-senyum gembira, bersyukur sekali. 

***

Minggu, 5 Oktober 2014

Hari ini Idul Adha. Kondisiku sebagai calon ibu yang sedang hamil muda ternyata membuatku drop. Sudah hampir 2 minggu aku sering absen mengajar. Kubaca-baca referensi, sepertinya aku mengalami hyperemesis, mual muntah berlebihan. Ternyata aku dan Abang salah beli susu. Tawa kami meledak saat ngecek gambar di dus susu yang kami beli beberapa waktu lalu. Pada cover susu yang kami beli, ada gambar ibu hamil dengan perut begitu besar, sedangkan perutku yang hamil 8 minggu ini belum ada tonjolan apapun. Akhirnya aku minta dibelikan Abang susu hamil yang berlabel emesis untuk kehamilan usia muda yang masih morning sickness. 

Kemarin petang, aku dan abang pertama kalinya USG sekaligus konsultasi ke dokter spesialis kandungan. Saat melihat janinku yang masih berupa kantong, rasanya amazing. Beginikah hamil itu? Beginikah rasanya saat melihat calon bayi darah daging kita di dalam rahim? Panjangnya sekitar 36 mm, masih sangat kecil sekali. Aku diberikan vitamin dan obat untuk pereda mual. Sejujurnya kukatakan pada Dokter Suandi bahwa aku tidak bisa makan obat akibat mual muntah berlebihan. Berat badanku juga turun, tak ada makanan yang masuk ke dalam lambungku. Setiap makan, selalu dimuntahkan lagi, sampai muntahku berwarna kuning kehijauan saking kosongnya perutku. 

***

Jumat, 10 Oktober 2014

Sudah seminggu ini mual muntahku sangat berlebihan. Badan sampai lemas tak bertenaga. Aku tak sanggup untuk berangkat ke sekolah apalagi mengajar di kelas. Tidak ada satupun makanan yang masuk, bahkan air putih pun termuntahkan. Aku tak bisa minum susu, tak bisa mencium bau bawang ditumis, juga tidak bisa makan makanan yang banyak bumbu. Banyak yang menyarankan minum air hangat, tapi ternyata perutku juga tak menerima. Akhirnya keluarga berinisiatif mengajakku ke bidan untuk diinfus saja. 

Dalam sejam, aku sudah menghabiskan hampir 1 botol infus. Rasanya sudah sedikit bertenaga dan bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku jadi lapar dan ingin makan roti yang biasanya kumuntahkan. Sepanjang mataku tak terpejam, kuhabiskan beberapa potong roti cokelat. Alhamdulillah, aku baikan. Kata bidan, esok pagi sudah bisa pulang setelah habis 5 botol infus dan disuntik vitamin. 

***

Sabtu, 18 Oktober 2014

Semalam di Klinik Bidan Aish seminggu lalu sudah menghabiskan dana yang tidak sedikit, sekitar Rp 600.000,-. Sayangnya malam ini kondisiku mengharuskan kembali merasakan tusukan jarum infus. Aku hanya bisa pasrah saat Abang meminta tolong sahabatnya untuk mengantarku ke Rumah Sakit Medika Stannia menggunakan ambulance yang ada di rumah tetangga. Badan ini sudah tidak sanggup lagi bertahan sendiri, jalanku sempoyongan. Semalam di Bidan Aish hanya menyegarkan badanku sehari saja. Setelahnya aku kembali drop.

Abang, Dek Kiki, Mamak, Ibu, semua bergantian menjagaku. Makanan rumah sakit yang membosankan dan tidak berasa tiba-tiba membuatku ingin makan ikan goreng sambal buatan Mamak. Padahal sejak hyperemesis, aku tak bisa makan yang berbau, apalagi bau amis dan bau bawang. Tanpa banyak waktu, Mamak membawa semua makanan request anak pertamanya ini. Kemudian kusantap dengan lahap. Segala puji bagi Allah, setiap diinfus sudah tidak pernah muntah lagi. Yang kukhawatirkan adalah sepulang dari rumah sakit, aku akan mual muntah berlebih kembali. 

***

Selasa, 17 Februari 2015

Janinku sudah lincah. Sehari bisa amat sering jedag-jedug. Apalagi kalau malam akan tidur, Abang yang membahasakan dirinya dengan sebutan Ayah menyapanya.

“Assalamu’alaikum Dedek, anak Ayah... Lagi apa? Sudah bobo belum? Apa lagi main bola?” 

Kalau sudah disapa ayahnya seperti ini, aku hanya senyam-senyum. Sekejap kemudian pasti terasa kedutan keras, dedek tahu kalau dipanggil ayahnya. Abang menempelkan kepalanya di atas perutku untuk mendengar dan merasakan gerakan anaknya. Sambil mengajak cerita, bertanya banyak hal dan memberitahukan banyak hal. Dan selama diajak berbicara itulah perutku terasa berkedut-kedut keras. 

Hari ini periksa memakai USG lagi. Sambil berbaring, aku berusaha melihat ke arah komputer di sisi kanan kepalaku. Dokter menunjukkan usia kehamilan 27w5d, berat badanku sudah 50 kg. Bayi dalam kandunganku beratnya 1070 gram. 

“Tenang saja, Insyaa Allah semua bagus. Berat janin segitu normal di usia kehamilan 27 minggu. Nanti kalau sudah 7 bulan ke atas akan meningkat pesat. Jadi jangan khawatir. Bismillah tawakkaltu ‘alallah.” Dokter Suandi berusaha menenangkan Abang.

Setelah beranjak dari tempat tidur, aku tak lupa mengutarakan keluhan lebih detail tentang ketakutanku akan asam urat serta gusi berdarah. Dengan senyuman dan tutur lembut dokter kembali memberikan jawaban menenangkan.

“Itu biasa, memang bawaan bayi. Bukan asam urat, tapi memang sudah kodratnya seperti itu. Untuk gusi berdarah juga jangan khawatir, sebagian besar para ibu hamil mengalaminya. Kram di persendian dan gusi berdarah adalah pengaruh hormonal saat hamil, jadi jangan was-was. Bawa santai saja.“

Tanggal 7 Mei sudah sebentar lagi. Waktu berjalan tak akan terasa. Masih banyak yang mesti kami persiapkan sebagai calon Ibu dan Ayah muda. Doa-doa suci senantiasa kami haturkan kepada Allah, semoga Allah senantiasa mendengar lagi mengijabah doa-doa kami. Mamak, Bapak, Ayah dan Ibu juga sudah tak sabar menanti kehadiran buah hati kami. Semoga semua dilancarkan. Harapanku bisa melahirkan normal dan memberikan ASI sampai dua tahun. Semoga kami bisa menjadi panutan dan pendidik yang baik untuk buah hati kami. Semoga Allah ridhai. Semoga pula kami senantiasa menjadi orang-orang yang bersyukur dan terus bersyukur.

***

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Ria Hidayah, S. Pd., lahir di Belinyu, 26 Oktober 1990 adalah putri pertama dari 4 bersaudara pasangan Ridwan dan Yuniar dan istri dari Seftian Pramudya, S.Pd. (teman sekelas seperjuangan sejak kelas 1 SD hingga 3 SMA). Pecinta Qur’an, penyuka handicraft dan penggila Winnie the Pooh yang bercita-cita menjadi guru berprestasi, penulis terkenal, dan crafter berbakat ini sedang menunggu detik-detik kelahiran anak pertamanya. Alumni Strata 1 Prodi Pendidikan Biologi Universitas Sriwijaya tahun 2013 ini mengisi waktunya denganmengajar IPA, PAI, dan TIK di SMP N 1 Belinyu dan Matematika serta ekstrakulikuler Tilawah di MTs Al Istiqomah. Mengajar sambil berbisnis aneka kerajinan tangan serta macam-macam aktivitas menulis salah satunya cukup rutin mengisi blog. Antologi tentang Bumil dan Busui kali ini adalah antologi pertama yang dituliskan setelah menulis 59 antologi yang telah terbit dan vakum hampir 2 tahun. Pernah juara harapan 1 lomba karya tulis tingkat prov. Kep BABEL kelas 2 SMA, juara 5 event Hereafter Savings tema Kesetiaan dan Juara Favorit 1 event Momen Indahnya Kebersamaan. Domisili di Belinyu. Email r_ia_h@yahoo.co.id. Fb Muth El Hadi (Ria Hidayah). Blog riahidayah.blogspot.com.

Ria Hidayah, S.Pd.

Suatu siang saat jalan-jalan bersama suami, tidak sengaja kuliat durian dan rasanya ingin sekali memakannya. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak menyukainya. Hal itu berlaku juga pada tempe dan wortel. Sebaliknya, makanan yang kugemari malah kubenci. Rujak misalnya. Saat hamil, malah makin mual ketika menikmati rujak. 

Waktu kandunganku sudah memasuki usia 6 bulan, aku jadi berlebihan makan. Rasanya semua makanan bisa masuk perut. Bahkan minum susu bisa 4 kali sehari. Masa hamilku ketika itu bersamaan dengan bulan puasa. Jadi ketika orang lain menahan lapar dan haus, aku malah makan di siang bolong. Saat sahur, aku juga ikut sahur. Orang lain buka puasa, aku tetap ikutan. Tidak heran berat badanku yang awalnya 50 Kg naik jadi 70 Kg.

Anehnya saat USG, dokter mengatakan kalau janinku kecil. Dokter pun menyaranku untuk mengkonsumsi es krim. Aku makin senang, kemudian hampir tiap hari kumakan es krim. Saking berlebihannya, berat badan bayiku saat lahir adalah 3,8 Kg dengan panjang 49 cm. Allhamdulillah itu dengan proses normal. Aku, suami dan keluarga sangat bahagia dengan kelahirannya.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Kartika Sari, tinggal di jalan Mandala 5 RT. 5 RW. 2 No. 18 Jakarta Timur. Ia lahir di Jakarta, 20 November 1994. Ibu muda yang hobi beres-beres rumah dan main HP ini memiliki akun facebook Kartika Sari Prasetiyo.

Kartika Sari
Bagaikan dapat durian runtuh, itulah pepatah yang pantas menggambarkan perasaanku pada saat aku dinyatakan positif hamil. Aku tidak menyangka sama sekali kalau aku bisa hamil secepat itu. Karena belum lepas dari ingatanku indahnya masa-masa menjadi pengantin. Hanya kurang lebih 2 bulan pernikahan, aku sudah positif hamil. Padahal sama sekali aku dan suami tidak pernah merencanakan mau punya anak secepat itu. Kami berdua enjoy saja, hanya menyerahkan nya saja semua kepada Allah. Tapi ternyata Allah member kepercayaan kepada kami. Dia memberikan kami anugerah yang paling indah dalam hidup kami.

Senang sekali aku rasanya karena sebentar lagi aku akan punya baby dan menjadi seorang ibu. Apalagi kehamilanku ini tidak seperti kebanyakan orang. Aku tidak mengalami muntah-muntah. Aku hanya mual saja, badan lemas, dan bawaannya ngantuk, serta malas. Tapi semua itu bisa aku jalani dan aku lewati seperti biasa. Aku masih bisa bekerja dan melakukan aktivitas. Tapi suamiku melarang aku terlalu capek. Dia tidak membolehkan aku mengerjakan pekerjaan rumah. Semua pekerjaan rumah, suamiku yang mengerjakannya.

Sungguh aku tidak tega sekali melihat suamiku harus menggantikan posisiku di rumah padahal aku tahu dia juga capek. Dia sudah bekerja di luar dan sampai di rumah harus mengerjakan pekerjaan rumah lagi. Tapi suamiku marah kalau dia tahu aku mengerjakan pekerjaan rumah. Dia sangat sayang dan perhatian sekali pada saat aku hamil. Dia selalu mengantarkan aku periksa kandungan setiap bulan. Dia juga selalu membelikan aku susu hamil, vitamin, dan buah-buahan. Pokoknya suamiku baik bangetlah. Apalagi dia tahu kalau aku mengandung anak laki-laki. Suamiku makin dan semakin sayang sama aku. Dan beruntungnya lagi calon bayiku pengertian sekali.

Aku tidak ada ngidam yang aneh-aneh. Dan aku juga masih bisa bekerja di luar. Meskipun suamiku juga melarang aku kerja di luar tapi aku tidak bisa harus di rumah lama-lama. Aku tidak betah karena aku memang sudah terbiasa bekerja. Sampai usia kandunganku 9 bulan 10 hari aku masih bekerja. Sampai-sampai bosku di tempatku bekerja selalu memberi pujian kepadaku karena dia bilang aku Wonder Woman.

Aku masih sanggup bekerja padahal aku sudah mau melahirkan dan aku juga tidak pernah bolos bekerja walaupun sedang hamil. Karena bagiku hamil bukan alasan untuk kita jadi orang yang malas. Apalagi kata orang-orang, apa yang kita lakukan dan kita ucapkan pada saat hamil akan terasa dampaknya kepada anak yang kita kandung. Makanya aku selalu melawan rasa malasku pada saat hamil. Aku rajin sekali bekerja agar anakku juga jadi orang yang rajin. Hanya pekerjaan rumah saja yang tidak aku kerjakan karena suamiku yang tidak membolehkannya.

Waktu tibanya usia kandunganku menginjak usia 9 bulan 10 hari, aku mengeluarkan bercak darah. Aku terpaksa minta izin pulang sama bosku padahal aku baru tiba di kerjaan. Dan bosku mengizinkan aku pulang. Aku hubungi suamiku lalu dia permisi juga dari kerjaannya dan menjemput aku pulang ke rumah. 

Tiba di rumah,aku tidak merasakan apa-apa. Bercak darah pun tidak ada keluar lagi. Sampai malam harinya baru aku merasakan perut bawahku perih tapi masih bisa aku tahan. Besok paginya lalu aku diantar orangtuaku ke rumah sakit karena aku merasakan sakit yang luar biasa. Satu hari lamanya aku merasakan perutku mules. Sampai-sampai aku mengeluarkan darah yang begitu banyak. Katanya sich aku mengalami kembar darah. Sakitnya sungguh luar biasa. Aku pun tidak tahan lagi dan akhirnya memutuskan untuk Caesar. Walaupun suami dan kedua orang tuaku tidak mengizinkan tapi aku tetap niat ingin Caesar. 

Akhirnya operasi di lakukan malam itu juga. Alhamdulillah, berjalan lancar.Aku melahirkan anak laki-laki dengan berat 2,7 kg dan panjang 4,5 cm. Sekarang anakku sudah berumur 13,5 bulan.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Andriyani Oktavia Samosir, lahir di Medan tanggal 15 Oktober 1986 lalu. Ibu rumah tangga yang gemar menulis ini berdomisili di jalan Meteorologi 1 No.12 Kel. Indra Kasih Kec. Medan Tembung Medan- Sumut. Untuk kontak lebih lanjut bisa via akun facebook Yanie Yurie.

Andriyani Oktavia Samosir
Sebagai seorang ibu, siapa yang tak teriris hatinya ketika melihat bayi berusia 15 bulan, harus terhenti kehidupannya lantaran asap? Beberapa hari lalu, postingan itu melintas di beranda facebook saya. Ada air mata yang hampir menetes, teringat bayi saya yang kini hampir berusia 14 bulan. Tapi cepat-cepat saya tepis bayangan si kecil. Tidak, saya bahkan tak mau membayangkan bayi yang telah 9 bulan saya kandung dan kemudian lahir dengan penuh perjuangan itu berada di posisi yang sama. Saya tak ingin, bahkan sekedar memikirkan betapa tak berharganya kehidupan setelah kehilangan buah hati yang sama artinya dengan kehilangan masa depan.

#DaruratAsap #MelawanAsap masih menjadi topik hangat di media sosial sejak sebulan yang lalu. Riau-Jambi-Palembang-Palangkaraya dalam kondisi udara terparah dalam sejarah kabut asap di Indonesia. Sayangnya, informasi mengenai keadaan tersebut sampai saat ini belum menjadi berita utama di televisi nasional. Bahkan, berita mengenai bayi yang meninggal itu pun, hanya melintas sekali lewat. Saya baru bisa menemukan fakta-fakta korban berjatuhan hanya ketika mencarinya di google yang kemudian merujuk saya ke situs-situs berita lokal.

Banyak yang mendesak pemerintah untuk segera menanggulangi kabut asap ini. Banyak yang berempati dan mengulurkan bantuan sebisanya. Tapi banyak pula yang kemudian nyinyir, mengatakan bahwa kabut asap adalah bencana buatan manusia di daerah dimana kabut asap melanda. Yang salah bukan pemerintah pusat, yang salah adalah rakyat yang membiarkan lahan-lahan dikuasai oleh perusahaan yang melakukan pembakaran. Yang salah adalah rakyat yang tak becus memilih pemerintah daerah setempat. 

Memang, mungkin salah bila kita mutlak menyalahkan pemerintah pusat. Tapi bagaimana dengan mereka? Salahkah bayi dan balita yang menderita ISPA? Salahkah siswa yang kegiatan sekolahnya diliburkan? Salahkah anak-anak yang tak lagi bisa keluar untuk sekedar main di halaman? Tahukah mereka tentang perusahaan yang melakukan pembakaran? Memilihkah mereka ketika PILKADA dilaksanakan? Lalu, mereka yang tidak tahu menahu itu mengapa ikut menjadi korban?

Saya tahu, kabut asap memang bukan bencana nasional. Asap tak seperti Tsunami dan gempa bumi. Asap tak seperti puting beliung dan letusan gunung api. Tapi bayangkan rasanya jika pagi-siang-sore-malam diasapi, setiap hari!

Mungkin karena itulah akhirnya banyak yang curhat di jejaring sosial. Hampir 2 bulan menghirup udara dengan kategori berbahaya rasanya memang sangat menyiksa. Saya sendiri yang harus bolak balik rumah - toko pada pagi dan sore hari sering merasa sesak, sakit kepala, dan mual ketika sampai di rumah. Saya yang masih sehat-bugar ini saja butuh perjuangan untuk bisa menembus asap, apalagi mereka yang mungkin renta, hamil, atau bayi dan balita? 

Tapi biarlah mereka yang tidak merasakan mata perih dan dada sesak tetap bahagia dengan udara yang dihirupnya. Menyuruh mereka untuk tinggal bersama kita, apalagi sampai mendoakan mereka mengalami hal yang sama, kesannya egois sekali. Saya sih masih bersyukur, meskipun berasap, PLN dan PDAM sering mati, tapi Palembang tidak terkena bencana alam yang dapat sekali hantam menghancurkan rumah kita, seperti yang pernah dialami daerah lain. Semua ada bagiannya masing-masing. Jangan berkecil hati dan merasa bukan bagian dari Indonesia. Jangan sampai kita terpecah-belah lantaran merasa paling tersiksa.

Seperti badai yang pasti berlalu, asap ini pun nantinya akan lenyap. Maka, teruslah berharap. Karena harapan membuat kita mampu lebih lama bertahan. Jangan skeptis pada pemerintah. Karena bagaimanapun, merekalah yang punya kemampuan dan tanggung jawab untuk bertindak menyelesaikan masalah ini. Tak mungkin mereka sama sekali tak peduli. Memang, penyelesaiannya agak lambat, tapi bukan berarti kita berhak atau malah latah mencaci-maki. Kalau saya, cuma bisa kasih tips ini, baca: Kabut Asap dan Kesehatan Anak

Yang terpenting, jangan pernah berhenti berdoa. Karena ada yang jauh lebih kuasa dari kuasanya pemerintah, dari daya upaya kita. Bisa jadi kabut asap ini sebenarnya adalah kabut cinta dari-Nya. Toh, lewat kabut asap kita jadi tahu betapa berharganya udara bersih untuk bernafas. Kita juga bisa belajar lebih bersyukur dan bersabar. Dan mengutip statusnya Bang Tere, "...Allah tidak akan menguji melebihi kemampuan kita. Saat manusia tidak bisa menanggung lagi beban ini, Allah akan menyelesaikannya, mudah sekali bagi Allah mengirimkan hujan, tapi Allah menunggu, siapa sebenarnya yang memang peduli dan kongkret."

Kabut Asap pagi di Simpang Dogan
30 September 2015, 07.50 WIB



NewerStories OlderStories Home