"Menjadi ibu rumah tangga tidak pernah sebatas menjadi ibu rumah tangga. Seorang ibu rumah tangga juga bisa bermanfaat bagi dunia."
Kira-kira itulah salah satu poin penting yang saya tangkap dari cerita-cerita Darwis Tere Liye, atau lebih akrab disapa Bang Tere pada Talkshow Motivasi yang diselenggarakan oleh Wasilah 06 di Aula RS. Mata, 23 Agustus 2015 kemarin. Beruntung sekali saya bisa hadir di acara tersebut, mengingat acara serupa bisa dibilang langka di Palembang.
Sebenarnya ini kali kedua saya berkesempatan melihat dan mendengar cerita-cerita Bang Tere secara langsung. Pertama kali, di akhir tahun 2012 lalu. Ketika itu saya menjadi salah satu nominator calon pemenang lomba cerpen pilihan pembaca Sumatera Ekspres. Meskipun gagal menjadi juara, tapi saya pulang tidak dengan tangan hampa. Saya mendapat lecutan semangat yang kemudian membuat saya bertekad kuat-kuat untuk menulis novel, dan melihatnya beredar di toko buku nasional di tahun 2013.
Alhamdulillah, meski sembari mengerjakan skripsi, saya berhasil menuntaskan sebuah naskah berjudul Cinta Harus Memiliki yang kemudian saya kirim ke Media Pressindo. Jawabannya, diterima! Saya makin bersemangat. Menyusul naskah Imagine Him dan Nobody's Perfect yang kemudian saya garap. Dua naskah itu pun langsung bertemu jodohnya.
Sayang, semangat menulis meredup ketika saya mulai hamil. Awalnya kondisi trisemester pertama yang memabukkan itu membuat saya tepar tiap kali menatap monitor, jangankan untuk berpikir, sekedar menulis status facebook pun kepala saya langsung pusing. Tiga bulan berlalu tanpa tulisan. Masuk trisemester kedua, dimana kondisi sudah membaik, saya pikir akan bisa menulis kembali. Tapi ternyata tidak, saya malah ngidam jualan dan sibuk mengurus orderan. Tiga bulan berlalu lagi, tanpa tulisan. Lalu di trisemester akhir kehamilan, saya bertekad untuk menggarap minimal satu novel saja. Tapi tekad itu pun kalah oleh perut besar yang sesak jika terlalu lama duduk, dan kaki yang bengkak jika terlalu lama tertekuk. Dan tiga bulan berlalu lagi. Saya akhirnya melahirkan seorang bayi, tanpa sempat melahirkan novel baru.
Setelah bayi saya lahir, hari-hari semakin padat. Waktu terasa tak pernah cukup panjang. Saya tak punya kesempatan untuk kembali bercengkrama dengan tulisan. Tiga bulan pertama, bayi saya masih butuh perhatian ekstra siang-malam. Jangankan waktu untuk menulis, untuk tidur pun rasanya kurang. Masuk ke usia enam bulan, bayi saya mulai tengkurap-merangkak-duduk-berdiri-berjalan merambat- hingga saya tersadar ketika ia menapaki usia satu tahun. Saya sudah begitu kaku untuk kembali menulis!
Dan tanpa disengaja, ketika suami saya membuka facebook-nya, melintaslah status dari FP Darwis Tere Liye tentang talkshow tanggal 23 Agustus tersebut. Tidak perlu lama-lama bertukar pikiran, suami langsung mengizinkan saya mendaftar. Saya butuh siraman motivasi, menurutnya.
Pukul 8 pagi kami tiba di RS. Mata setelah melakukan registrasi dan penyerahan novel untuk ditandatangani, masuklah saya dan suami ke aula yang ternyata sudah diisi oleh remaja dengan mayoritas perempuan berjilbab. Yang laki-laki bisa dihitung dengan jari. Acara baru dimulai satu jam setelahnya.
Registrasi peserta |
Saya dan suami sebelum masuk ke ruangan |
Goodie bag dan tiket masuk seharga 55 ribu |
Dibuka dengan basmalah dan saritilawah, lalu kata sambutan dari Ketua Panitia dan Ketua Umum Wasilah 06 serta penampilan Nasyid SMA N 6, barulah Bang Tere muncul. Moderator dan sebagian peserta yang belum pernah melihat Bang Tere, lumayan syok melihat penulis Hafalan Shalat Delisa itu hanya mengenakan jins dan kaos. Bahkan moderatornya sendiri sampai malu karena dia justru mengenakan setelan jas, lebih necis dari Bang Tere.
Penampilan nasyid SMA N 6 Palembang |
Santainya Bang Tere bercerita |
Tanpa basa-basi, Bang Tere langsung memulai ceritanya. Ini khasnya Bang Tere, beliau selalu punya banyak cerita!
Diawali dengan cerita 3 sahabat dari pulau berbeda mendaftar pada fakultas kedokteran di salah satu universitas. Dari pertemuan pertama, lulus, kuliah, wisuda, hingga koas, tiga sahabat ini selalu bersama. Sampai kemudian diambil sumpah dokternya dan berpisahlah mereka kembali ke kampung halaman masing-masing dengan janji, bila suatu saat nanti mereka bertemu, mereka harus bercerita berapa banyak orang yang telah mereka sembuhkan. 10 tahun kemudian mereka bertemu di acara reuni kampus. Berceritalah Dokter A tentang prakteknya. Ia membuka praktek dokter di kotanya dan mayoritas warga kota itu berobat padanya. Sekitar 1000-an orang telah ia obati. Kemudian Dokter B pun bercerita bahwa dirinya tidak membuka praktek. Ia bergabung dengan lembaga kemanusiaan yang membutuhkannya ketika terjadi bencana alam, seperti Tsunami. Maka jutaan orang telah ia obati. Tibalah giliran Dokter C bercerita. Setelah pulang ke kampungnya, ia menikah dan berencana membuka praktek. Tapi ibunya kemudian jatuh sakit dan membutuhkan perawatan 24 jam. Hanya dia yang bisa merawat ibunya. Lalu bertahun-tahun hingga ibunya meninggal, ia baru bebas dan ingin membuka praktek dokter. Tapi suaminya pun kemudian sakit dan membutuhkan perawatan selama bertahun-tahun. Hingga ketika suaminya sembuh, waktu untuk membuka praktek sudah lewat. Selama 10 tahun ia hanya merawat 2 orang! Tapi selama Dokter C merawat ibu dan suaminya, ia terus menulis blog tentang kesehatan yang lalu ia bukukan dan terbit. Buku-buku yang ia tulis digunakan oleh banyak orang sebagai referensi penyembuhan maupun pencegahan terhadap penyakit-penyakit. Buku tersebut beredar ke seluruh pelosok negeri. Meski secara defacto Dokter C hanya merawat 2 orang, tapi buku yang ia tulis telah bermanfaat bagi banyak orang yang mungkin jumlahnya lebih banyak dari pasien Dokter A dan Dokter B.
Lalu cerita kedua tentang ibu rumah tangga yang ingin sekali menulis, hanya saja ia tidak tahu apa yang bisa ia tuliskan. Tidak ada hal menarik dalam hidupnya. Setiap hari, ia bangun jam 4 pagi untuk menyiapkan sarapan anggota keluarga, lalu membangunkan anaknya dan mempersiapkan ke sekolah. Setelah anak-anak pergi, ia pun mengurus suaminya hingga siap ke kantor. Semua orang telah pergi, ibu itu masih harus menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju, dan menyetrika lalu masak untuk makan siang anak-anaknya sepulang sekolah. Kemudian disusul sore hari suaminya pulang ke rumah. Ia pun harus menyiapkan makan malam. Pukul 8 malam, barulah ia punya waktu istirahat. Ia kemudian tidur. Dan hal itu terjadi terus menerus sepanjang hari. Sang ibu ingin menemukan kebahagiaan yang lain. Ia ingin menemukan manfaat lain dari hidupnya. Ia ingin keluar dari zona nyaman. Ibu rumah tangga itu ingin menulis. Kemudian Bang Tere menyarankan untuk menulis resep masakan. Ia menulis semua yang ia masak, lalu memostingnya di blog. Hingga kemudian, resep masakan sehari-harinya itu ramai dikunjungi dan dilirik editor penerbitan. Ia ditawari untuk menerbitkan buku resep masakan. Hingga saat ini, ibu itu telah menerbitkan 6 buku.
Masih ada cerita lain yang juga menarik. Tapi dua cerita tadi sudah cukup menegaskan bahwa ibu rumah tangga juga bisa jadi penulis. Mulailah untuk menuliskan apa yang biasa kita lakukan, apa yang kita sukai, dan apa yang bermanfaat bagi orang banyak. Sesederhana itu. Hanya, yang kita butuhkan adalah motivasi terbaik. Untuk apa sebenarnya kita menulis? Untuk materi? Atau untuk ketenaran? Kedua tujuan itu boleh-boleh saja, tapi itu tak akan cukup kuat untuk membuat kita bertahan di dunia kepenulisan.
Saya sendiri, harus memanggil kembali motivasi terbaik itu. Motivasi yang dulu berhasil membuat saya melahirkan 3 novel dalam satu tahun.
Menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan, dan saya bahagia menjalani itu. Saya tidak ingin lagi mengkambing hitamkan anak dan suami. Bukan karena mereka saya tidak bisa berkarya. Bukan... Saya hanya terlalu malas untuk meluangkan sedikit saja waktu dan pikiran saya. Saya hanya lupa memanggil motivasi terbaik saya... Dan hanya saya yang tahu apa sebenarnya tujuan utama saya menjadi penulis.
"Waktu yang terbaik untuk menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu. Maka saat ini kita telah dapat melihat hasilnya apakah tumbuh subur dengan daun yang rindang dan buah yang lebat. Lalu bagaimana jika 20 tahun ini kita belum menanam pohon? Waktu terbaik kedua menanam pohon itu adalah sekarang. Maka jika kita tidak menanamnya sekarang, 20 tahun akan berlalu cepat dan kita belum menghasilkan apa pun," kata Bang Tere lagi.
Dan karena itulah, saya menggigit janji, membulatkan tekad kembali seperti 3 tahun yang lalu. Saya akan kembali menulis. Saya yakin, sebagai ibu rumah tangga pun, saya tetap bisa jadi penulis.
Akhir postingan ini, saya kutip status FP Bang Tere yang sangat jleb di hati:
Menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang keren. Tidak bisa disambi, tidak bisa part time, tidak bisa magang. Tidak ada yang lebih membanggakan hati, melihat seorang ibu dengan pendidikan tinggi, menggunakan ilmunya tersebut mengurus keluarganya. Kalau ada yang bilang sia-sia sekolahnya, maka biarkan saja mereka berpendapat demikian. Kita sih tidak, dan kita tahu persis mana pendapat yang paling kokoh, lantas meyakininya. --Tere Liye
Novel yang telah ditandatangai Bang Tere |
0 komentar:
Post a Comment