ASI dan Susu Formula (Sufor) seringkali dibuat seakan bermusuhan. Keduanya diadu-adu mana yang terbaik bagi bayi. Ibu-ibu yang berhasil memberi ASI eksklusif pada bayinya, kadang lupa diri dan mem-bully ibu lain yang memutuskan untuk memberi sufor. Padahal, keputusan untuk tidak ASI eksklusif adalah sesuatu yang sangat berat mengingat setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi buah hatinya. Dan, mayoritas kita meyakini bahwa ASI-lah makanan terbaik bagi bayi.

Seperti yang pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya, (baca: Ketika Baby Blues Syndrome Menyerang), ASI saya baru keluar di hari ke-4 pasca persalinan. Bayi saya telah diberi sufor dengan dot sehingga ia bingung puting. Terlebih lagi dengan puting yang rata dan kurangnya pengetahuan tentang laktasi, membuat saya kewalahan tiap kali mencoba menyusui. Saya telah mencoba beberapa posisi, juga mencoba menyambung puting. Tapi kadang, prosesi menyusui tetap berakhir dengan helaan nafas panjang dan kekecewaan ketika melihat si kecil yang meraung hebat diambil mama untuk diberi dot (lagi). Seperti kebanyakan ibu yang gagal ASIX, saya pun sempat merasa gagal menjadi ibu.

Tak ingin menyerah begitu saja, saya kemudian memutuskan untuk memompa ASI. Hasil pompa pertama saya tak lebih dari 10 ml, padahal sakitnya minta ampun. Meski sangat sedikit, tapi harapan saya sangat besar ketika melihat si kecil meminumnya. Yang penting bayi saya mau ASI, saya hanya perlu berusaha lebih keras lagi.

Saya mulai browsing tentang ASIP. Mulai dari cara memompa, memperbanyak ASIP, juga cara menyimpan dan menyajikan ASIP untuk bayi saya. Saya berharap nanti ia bisa lepas dari sufornya dan menjadi bayi ASI penuh.

Karena saya tidak menyusui langsung, saya harus rajin memompa ASI. Paling tidak, 2 jam sekali saya harus memompa dengan pompa ASI manual saya. Berapa pun yang saya dapat, langsung dilahap habis oleh si kecil. Itulah yang kemudian membuat saya bersemangat. Saya rela meski harus bolak-balik mencuci pompa, saya rela bangun sendirian malam-malam untuk memompa sebelum bayi saya bangun dan merengek haus. Saya rela menghabiskan waktu saya demi kucuran ASI itu. Dalam sehari minimal saya memompa 10 kali. Satu kali memompa setidaknya setengah jam waktu yang saya butuhkan. ASI yang awalnya sedikit itu lambat laun jadi melimpah. Bayi saya memang tidak sepenuhnya lepas sufor, tapi ia mengonsumsi ASI jauh lebih banyak dari sufor. Sufor dibuat hanya untuk menunggui saya bila belum selesai memompa sementara si kecil keburu lapar. Itu pun kemudian sufornya dibuang ketika ASI saya siap.

Bayi saya tumbuh sehat dan gemuk. Di hari ke-30 kelahiran, beratnya sudah 5 kg. Di umur 2 bulan, beratnya naik menjadi 6,5 kg. Tentu saja saya bahagia sekali. Perjuangan saya tak sia-sia rasanya. 

Saya berusaha sebisa mungkin untuk menepati jadwal memompa yang sebenarnya berat dan banyak godaannya. Rasa capek, rasa kantuk, kadang juga rasa malas menyerang, tapi seolah telah saling membutuhkan, saya tak bisa dengan sengaja meninggalkan rutinitas itu. Pernah tanpa sengaja saya melewatkan 1 jadwal memompa, saya langsung demam. Mungkin karena produksi ASI yang melimpah membuat saya harus terus menyalurkan ASI itu agar tidak bengkak yang berujung demam.

Semakin besar, rupanya kebutuhan ASI si kecil meningkat. Saya sering kejar-kejaran memompa karena hasil pompa yang tadinya cukup untuk 2 kali minum, jadi cukup untuk satu kali saja. Saya tidak menyimpan ASI di kulkas seperti kebanyakan ibu bekerja menyetok ASI-nya. Tidak, saya pernah mencoba melakukan itu, tapi bayi saya menolak ASI yang telah dihangatkan. Beberapa kali mencoba, ASI saya terbuang percuma karena si kecil tak mau meminumnya.

Saya mulai kesulitan mematuhi jadwal memompa ketika saya kembali membantu suami di toko. Saya berkeras untuk membawa si kecil bersama saya. Apalagi bayi saya juga suka keluar. Di toko tanpa bantuan mama, membuat saya sering melewatkan jadwal memompa karena tak ada yang menjaga si kecil jika saya memompa. Apalagi saat itu ia mulai bisa merangkak. Memompa yang sejatinya butuh ketenangan tak akan berhasil jika terus-terusan was-was mengawasi si kecil. Ditambah lagi jika suami keluar dan saya berdua si kecil yang menjaga toko, saya tak mungkin bisa memompa karena takut kalau-kalau ada pelanggan yang datang. Karena itu, saya mulai sering demam. ASI saya pun mulai ngambek. Produksinya tak lagi sebanyak dulu, padahal, bayi saya butuh ASI yang lebih banyak lagi.

Karena kurang, maka sufor yang tadinya hanya untuk ngedot bohongan itu kemudian beralih menjadi penyambung ASI. Semakin bertambah kepintarannya, saya pun makin morat-marit memompa karena harus ekstra menjaganya yang mulai berdiri dan merayapi meja. Keadaan mulai berbalik, sufor kini mendominasi. ASI saya makin seret. Beberapa cara saya coba untuk mengembalikan produksinya, tapi tidak berhasil karena saya pun sebenarnya tahu pasti bahwa jadwal memompa yang tak teratur itulah masalahnya.

Sampai usia bayi saya masuk ke 14 bulan, saya masih berusaha untuk memberikan ASI meski produksinya jauh dari cukup. Dari yang memompa 2 jam sekali, menjadi 2 kali sehari, dan sekarang 1 kali sehari dengan hasil tak lebih dari 30 ml. Sedih, tapi untung si kecil sudah bisa makan. Jadi kebutuhannya tetap terpenuhi.

Maka, jika saya melihat postingan yang kesannya menyudutkan para ibu yang tak bisa ASIX, rasanya tak adil sekali. Karena saya yakin, seperti halnya saya, ibu yang akhirnya memberi sufor pada bayinya juga telah lebih dulu berusaha keras agar si kecil menerima haknya. Saya kagum pada ibu-ibu yang berhasil ASIX, tapi nyesek jika ibu-ibu itu lantas mendiskreditkan anak yang minum sufor. ASI memang yang terbaik, tapi bukan berarti anak yang tidak ASIX itu buruk.

Jadi, kalau ditanya orang, "Si kecil anak ASI atau anak sufor?"
Cukup jawab, "Ini anak saya!"

Ini anak saya!
Malam itu tepat jam 3 dini hari, bertepatan dengan waktunya orang bangun makan sahur, aku melahirkan seorang gadis mungil. Semua rasa sakit yang kurasa sejak ba'da maghrib, hilang berganti rasa bahagia yang tiada terkira. Aku dan bayiku kemudian dibersihkan, tapi tidak dimandikan karena hari masih terlalu malam untuk mandi. Setelah bersih, aku disarankan untuk memberikan ASI. Namun betapa sedih hatiku, yang keluar hanya setetes. Aku tetap berusaha memberikan puting susu pada bayiku, dengan harapan bila terus dihisap bayi maka akan memancing ASI keluar dengan lancar. Tapi ternyata sampai siang pun, ASI tetap tidak mau keluar. 

Hari berganti malam. Aku masih berharap dapat memberikan ASI eksklusif pada bayiku, tapi semua usahaku tak membuahkan hasil. Bayiku menangis tak berhenti, mungkin karena haus. Sedih hatiku, sayangnya tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya suami pergi mencari susu formula. Bayiku lalu berhenti menangis setelah minum pengganti ASI tadi. 

Dalam hati, aku menangis dan bertanya-tanya, “Apakah aku melakukan kesalahan sehingga ASI tak mau keluar?” 

Beberapa hari setelah itu, kondisi tidak banyak berubah. ASI hanya mau keluar sedikit saja, padahal payudaraku sudah membesar dan tegang. Tetangga yang datang menjenguk banyak memberikn saran, mulai dari harus begini-begitu, makan ini-itu, semua kucoba. Memang semakin lama ASI sudah mau keluar, namun hanya sedikit. Bayiku masih harus tetap minum susu formula agar tidak menangis terus. 

Orang bilang, lidah bayi itu tajam dan itu sangat kurasakan. Terlebih untuk puting kananku. Karena bentuknya kecil, bayiku harus menghisap ASI dengan sangat kuatnya. Aku harus menahan rasa sakit dengan menghentakkan gigiku. Akhirnya karena tidak kuat sakitnya, kusambung puting kananku dengan dot. Jadi kalau bayiku mau menyusu, kutempelkan dot itu ke puting, baru bayiku menyedotnya. Saat itu ASI sudah mau keluar, tapi jumlahnya tetap tidak mencukupi kebutuhan bayi. Ia masih tetap harus diberi susu formula, terlebih di malam hari.

Suatu hari, tiba-tiba badanku menggigil dan panas. Ini efek dari menahan rasa sakit di puting susu. Mamah saja heran kenapa putingku bisa luka padahal sudah disambung dot. Setelah aku minum obat dari bidan, yang kurasa adalah ASI mulai berkurang kembali. Sakitku ternyata tidak hanya sekali. Hingga sakit yang ketiga kalinya, aku tak mau minum obat lagi. Kubiarkan saja hingga sembuh sendiri. Memang menyiksa, tapi lebih menyiksa lagi kalau kurasakan ASI berkurang. 

Kondisi menahan sakit saat menyusui ini berlangsung hingga hampir 2 bulan. Walaupun sakit, aku kekeuh memberikan ASI. Aku tidak mau kalau bayiku hanya minum dari botol. Untungnya, bayiku sangat pengertian. Dia tetap mau minum ASI walau juga minum susu formula. Padahal kebanyakan bayi yang kalau sudah diberi susu formula, tidak mau lagi minum ASI. 

Perlahan tapi pasti, aku mulai menambah porsi makanku. Secara perlahan pula luka di puting kanan mulai sembuh. Kemudian aku memberanikan diri memberikan ASI langsung tanpa bantuan dot. Awalnya terasa sakit, tapi lama-lama aku bisa menyusui seperti biasa. Berkat perjuangan dan usahaku memperbanyak ASI, Alhamdulillah kini ASI melimpah. Aku tidak harus memberikan susu formula lagi pada anakku. Ternyata menambah porsi makan efektif untuk memperbanyak ASI. 

Memang sewaktu belum menikah bahkan saat hamil, makanku sangat sedikit. Mamah dan keluargaku sering menyebut makananku sebagai makanan kucing saking sedikitnya. Kini demi anakku, porsi makan bertambah 3 sampai 5 kali lipat. Kalau timbul rasa lapar jam berapapun itu, kapanpun itu, aku langsung makan! Padahal dulu, tidak pernah sarapan nasi. Tapi sekarang, tidak bisa kerja apa-apa kalau belum makan.

Kini putriku berumur 6 bulan. Adzkia Saufa Ramadhani namanya. Semoga menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Hermawati, guru honor dengan akun facebook Erly ThepowerofLove ini lahir di Maluku Tengah, 02 Desember 1986. Ia tinggal di Desa Wonosari, Kec. Seram Utara Timur Seti, Kab. Maluku Tengah. Hobinya membaca buku.

Hermawati
Sabtu, 23 November 2013 pukul 02.59 WITA adalah hari yang paling membahagiakan untukku dan suami. Hari itu, lahir putri cantik yang kami beri nama Zahra melalui persalinan normal di usia 33 minggu kehamilan. Ia lahir prematur dan memiliki berat badan rendah 2,1 Kg. Kecil dan mungil sekali. Ia dirangsang lahir karena diare yang terjadi padaku mengakibatkan air ketuban merembes sehingga dokter kandungan menyarankanku untuk segera bersalinan. Ada yang mengatakan bahwa aku beruntung masih diberi kesempatan untuk melahirkan secara normal, karena jika ibu hamil mengalami kejadian seperti itu maka kemungkinann besar akan bersalin lewat operasi.

Kini aku adalah seorang ibu. Aku sangat bersyukur diberi kesempatan merasakan nikmat melahirkan dan menjadi ibu. Tak ada proses belajar sebelumnya, semua seolah mengalir begitu saja. Inilah kekeliruanku yang berdampak setelah melahirkan. Akhirnya ... Aku masih takut dan belum benar menggendong anakku. Karena itulah perlu beberapa hari, aku baru bisa menggendong dan memeluknya dengan benar. Selain itu, tekadku harus memberi buah hatiku ASI eksklusif minimal 6 bulan. Siapa yang tidak mengetahui bahwa di dalam ASI banyak sekali kandungan yang bermanfaat untuk buah hati. Ada zat besi, vitamin, protein, kalsium dan lain-lain. Tentunya itu sangat membantu untuknya yang terlahir prematur.

Alhamdulillah ... beberapa jam paska melahirkan, saat dia keluar dari dalam incubator, ASI sudah bisa kuberikan padanya. Rasanya, Subhanallah ... menakjubkan sekali bisa merasakan nikmat menyusui. Berat badan rendah membuatnya perlu sekali ASI untuk membantu pertumbuhannya agar organ tubuhnya kian sempurna.

Ia mungil sekali, sehingga ada yang mengatakan mungil seperti botol. Sedih? Pasti. Namun, inilah ketentuan dari-Nya. Semua orang pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna. Di kala aku sedih, suami menghiburku dengan mengatakan, “Bersyukur diberi kepercayaan sama Allah. Itu adalah rezeki yang tak terhingga. Yuk, kita berikan yang terbaik untuk Zahra.”

Menjadi ibu haruslah siap. Siap untuk apa pun. Salah satunya siap begadang. Selain demi menyusui, juga untuk mengganti popok si kecil yang basah. Aku merasakan tidur tidak teratur, mungkin hanya 2 atau 3 jam. Sungguh luar biasa yang namanya Ibu.

Pernah suatu hari, seorang teman berkunjung ke rumah. Ia senang bertemu Zahra dan tidak segan menggendongnya. Ia amati wajah Zahra yang kata orang mirip sekali dengan abinya. Saat itu ia mengatakan wajah Zahra agak kekuningan. Aku terkejut, mengapa demikian? Lalu kusampaikan hal itu pada mama. 

Beliau mengatakan, “Ah, biasa bayi seperti itu. Disusui saja terus tiap 2 jam sekali. Kalau dia tidur, dibangunin. Kalau ada sinar matahari pagi, coba dijemur!” 

Aku lakukan apa yang disarankan Mama. Tapi setelah beberapa hari, tidak ada perubahan. Hingga kulihat matanya agak sedikit kekuningan. Aku khawatir, berharap bukanlah sesuatu yang membahayakan. Lalu Zahra kubawa ke pelayanan kesehatan terdekat. Hasil pemeriksaan menunjukkan kadar bilirubinnya masih normal, hanya perlu terus diberi ASI dan rutin dijemur antara jam 7 – 9 pagi hari selama 15-30 menit. Mungkin aku harus bersabar sedikit untuk melihatnya bebas dari kekuningan. Perlu diketahui, apabila kadar kadar bilirubin tinggi akan mengakibatkan komplikasi yang dapat merusak otak si kecil.

Beberapa hari kemudian, Zahra tidak kuning lagi. Senang sekali. Wajah merahnya kembali seperti semula. Tapi masalah baru muncul, ada bintik merah kecil menghinggapi pipinya. Sepupuku yang melihat mengatakan, “Mungkin hanya kena ASI, coba diberi baby oil sesering mungkin”. Aku yang tidak tahu apa penyebabnya, menurut saja. Namun bintik-bintik merah kecil itu bukannya hilang, malah semakin bertambah hingga ke lehernya. 

“Apa lagi sih yang mengganggumu? Sabar ya, Sayang!”

Aku mencoba untuk tidak khawatir, tapi tetap tidak bisa. Segera aku dan suami membawa buah hati kami ke dokter anak. Kemungkinan alergi beberapa jenis makanan atau alergi susu sapi, itu yang disampaikan dokter anak. Aku dan suami bingung, alergi susu sapi? Zahra kan hanya minum ASI? Ternyata bisa jadi, makanan yang kukonsumsi dan mengandung susu sapi terbawa ke ASI sehingga dia yang terkena. Setelah itu, tidak ada lagi susu cokelat dan apa pun yang mengandung susu sapi yang dapat kukonsumsi. Sedihnyaa ... tapi demi buah hatiku, apa pun pasti akan kulakukan. Alhamdulillah, setelah usia Zahra 1 tahun, ia sudah tidak alergi susu sapi lagi.

Masa 3 bulan cuti melahirkan akhirnya usai. Untuk karyawan honorer sepertiku, sungguh sangat menyenangkan dapat kesempatan cuti selama itu. Setelah itu menjadi masa yang sangat menyedihkan, aku harus meninggalkan Zahra bersama orang lain. Akan tetapi, kami tetap komitmen memberinya ASI hingga minimal 6 bulan. Jadi selama di tempat kerja, aku mencari waktu luang dan tempat yang aman untuk memompa ASI. Tips yang kudapat agar ASI banyak yang keluar yakni tetap rileks dan santai ketika memompa agar ASI bisa terkumpul banyak. Pemompa ASI, botol kaca untuk ASI dan tas baby menjadi faktor pendukung yang sangat membantu proses pengiriman ASI untuk Zahra. Suami dengan senang hati mengambil ASI anakku dari tempat kerja. Semua kami lakukan untukmu, Nak ...

Pernah suatu hari, ASI yang kustok ternyata tidak mencukupi. Zahra menangis karena haus. Stok ASI yang juga ada padaku, yang kusimpan dalam kulkas kantor, juga belum diambil suami. Karena haus yang tak tertahankan, akhirnya tanteku yang menjaga Zahra saat itu memberinya sedikit susu sapi sambil menunggu abinya membawa ASI dari tempat kerja. Alangkah terkejutnya tante ketika melihat seluruh badan zahra berubah kemerahan. Ini karena Zahra alergi susu sapi. 

Selama 6 bulan dia mendapat ASI ekslusif. Alhamdulillah ... Meski prematur, ASI-nya terpenuhi. Padahal sejujurnya puting payudara saya hanya satu yang berfungsi dengan baik. Yang banyak mengeluarkan ASI hanya sebelah kanan, sedangkan yang sebelah kiri tidak bisa karena putingnya datar. Semangat untuk memberikan ASI ekslusif yang begitu kuat, dorongan dari suami serta melihat Zahra yang sangat membutuhkan, membuat saya bisa menyusui si kecil selama 6 bulan. 

Kini dia sudah menginjak 14 bulan dan masih minum ASI, dibantu dengan MPASI dan susu formula. Meski premature, dia tumbuh dan berkembang sesuai usianya. Saat ini bahkan Zahra sedang belajar berjalan. 

Ah ... Bersyukur menjadi seorang wanita, memiliki nikmat mengandung, melahirkan dan menyusui. Terima kasih Allah atas nikmat tak terhingga ini. Terima kasih ...

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Nur Ayu Saputri, biasa disapa Ayu ini lahir di Samarinda, 11-09-1989 dari pasangan H. La Djangka dan Hj. Nursiah. Saat ini tinggal dan menetap bersama suami berdarah suku Gayo yang bernama Win Salamsyah Lingga di kota Medan, Sumatera Utara. Memiliki seorang buah hati yang cantik bernama Zahratul Mirotsa Lingga yang kini berusia 14 bulan. Kegiatan sehari-hari selain menjalankan kewajiban sebagai seorang istri dan seorang ibu, juga membantu menjalankan usaha Ummina Tour and Travel bersama suami. Senang mendengarkan musik beraliran pop song, menyukai membaca novel karya Tere Liye dan saat ini senang sekali memasak. Untuk menjalin tali silaturahim, Fb: @ummu zahra ummina travel WA.082352324590.

Nur Ayu Saputri
Sabtu, 13 September 2014

Hari ini adalah hari ke-14 setelah jadwal haid yang seharusnya, tapi belum ada tanda-tanda akan haid. Aku dan suami adalah pasangan pengantin baru. Haid terakhirku datang pada malam setelah kami melangsungkan akad nikah di kediaman kedua orangtuaku, Kamis malam selepas Isya tanggal 31 Juli 2014. Kami yang berprofesi sebagai guru honorer di sekolah negeri dan swasta di kota kami, diberikan cuti menikah selama satu minggu. 

Aku masih berpikir bisa jadi stres memicu terlambatnya haid karena jam mengajarku begitu padat. Setelah kucoba tes pakai testpack, tak sampai 2 menit keluar hasilnya. Ada dua garis yang masih samar. Aku berteriak kecil dalam hati, semua rasa campur aduk. Senang tak terkira, tapi di satu sisi juga merasa takut. Karena masih belum begitu percaya, esok kucoba lagi dengan urin pertama setelah bangun tidur.

***

Selasa, 16 September 2014

Tadi aku dan abang ke Klinik Bidan Mamit, tapi yang menjaga bukan Bidan Mamit melainkan asistennya, seorang bidan muda. Setelah kusampaikan keluhanku, bidan muda itu menanyakan testpack yang menunjukkan dua garis samar. Fiuh, untung saja kubawa. Setidaknya ini ada bukti yang bisa ditunjukkan. 

“Oo.. Ini masih samar, Bu. Jadi kalaupun hamil kemungkinan besar janinnya masih lemah. Hati-hati, masih rawan. Jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk dan lelah. Untuk memastikannya, coba seminggu ke depan testpack lagi lalu hasilnya bawa ke sini. Kemungkinan kalau memang hamil, garisnya sudah lebih terang.” 

***

Senin, 29 September 2015

Aku dan abang kembali mengunjungi Klinik Bidan Mamit. Tak lupa kubawa hasil testpack terakhirku, garisnya sudah lebih jelas dibanding yang pertama dan kedua. 

“Nah, sudah jelas garisnya. Insyaa Allah ini memang hamil dan janinnya sudah mulai kuat.“

Berdasar hasil pemeriksaan, janinku berumur kurang lebih 8 minggu. EDD (Estimated Delivery Date) atau biasa disebut bidan Hari Perkiraan Lahir (HPL) adalah 7 Mei 2015. Bayangkan, Mei nanti aku akan menimang bayi.

Pulangnya Abang membelikan susu ibu hamil merek Prenagen dengan label Mommy, lalu aku dan Abang mampir ke rumah Mamak-Bapak untuk mengabarkan bahwa sudah ada dedek bayi di perutku. Pulang ke rumah pun langsung kukabarkan hal ini pada ibu mertua. Beliau senyam-senyum gembira, bersyukur sekali. 

***

Minggu, 5 Oktober 2014

Hari ini Idul Adha. Kondisiku sebagai calon ibu yang sedang hamil muda ternyata membuatku drop. Sudah hampir 2 minggu aku sering absen mengajar. Kubaca-baca referensi, sepertinya aku mengalami hyperemesis, mual muntah berlebihan. Ternyata aku dan Abang salah beli susu. Tawa kami meledak saat ngecek gambar di dus susu yang kami beli beberapa waktu lalu. Pada cover susu yang kami beli, ada gambar ibu hamil dengan perut begitu besar, sedangkan perutku yang hamil 8 minggu ini belum ada tonjolan apapun. Akhirnya aku minta dibelikan Abang susu hamil yang berlabel emesis untuk kehamilan usia muda yang masih morning sickness. 

Kemarin petang, aku dan abang pertama kalinya USG sekaligus konsultasi ke dokter spesialis kandungan. Saat melihat janinku yang masih berupa kantong, rasanya amazing. Beginikah hamil itu? Beginikah rasanya saat melihat calon bayi darah daging kita di dalam rahim? Panjangnya sekitar 36 mm, masih sangat kecil sekali. Aku diberikan vitamin dan obat untuk pereda mual. Sejujurnya kukatakan pada Dokter Suandi bahwa aku tidak bisa makan obat akibat mual muntah berlebihan. Berat badanku juga turun, tak ada makanan yang masuk ke dalam lambungku. Setiap makan, selalu dimuntahkan lagi, sampai muntahku berwarna kuning kehijauan saking kosongnya perutku. 

***

Jumat, 10 Oktober 2014

Sudah seminggu ini mual muntahku sangat berlebihan. Badan sampai lemas tak bertenaga. Aku tak sanggup untuk berangkat ke sekolah apalagi mengajar di kelas. Tidak ada satupun makanan yang masuk, bahkan air putih pun termuntahkan. Aku tak bisa minum susu, tak bisa mencium bau bawang ditumis, juga tidak bisa makan makanan yang banyak bumbu. Banyak yang menyarankan minum air hangat, tapi ternyata perutku juga tak menerima. Akhirnya keluarga berinisiatif mengajakku ke bidan untuk diinfus saja. 

Dalam sejam, aku sudah menghabiskan hampir 1 botol infus. Rasanya sudah sedikit bertenaga dan bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku jadi lapar dan ingin makan roti yang biasanya kumuntahkan. Sepanjang mataku tak terpejam, kuhabiskan beberapa potong roti cokelat. Alhamdulillah, aku baikan. Kata bidan, esok pagi sudah bisa pulang setelah habis 5 botol infus dan disuntik vitamin. 

***

Sabtu, 18 Oktober 2014

Semalam di Klinik Bidan Aish seminggu lalu sudah menghabiskan dana yang tidak sedikit, sekitar Rp 600.000,-. Sayangnya malam ini kondisiku mengharuskan kembali merasakan tusukan jarum infus. Aku hanya bisa pasrah saat Abang meminta tolong sahabatnya untuk mengantarku ke Rumah Sakit Medika Stannia menggunakan ambulance yang ada di rumah tetangga. Badan ini sudah tidak sanggup lagi bertahan sendiri, jalanku sempoyongan. Semalam di Bidan Aish hanya menyegarkan badanku sehari saja. Setelahnya aku kembali drop.

Abang, Dek Kiki, Mamak, Ibu, semua bergantian menjagaku. Makanan rumah sakit yang membosankan dan tidak berasa tiba-tiba membuatku ingin makan ikan goreng sambal buatan Mamak. Padahal sejak hyperemesis, aku tak bisa makan yang berbau, apalagi bau amis dan bau bawang. Tanpa banyak waktu, Mamak membawa semua makanan request anak pertamanya ini. Kemudian kusantap dengan lahap. Segala puji bagi Allah, setiap diinfus sudah tidak pernah muntah lagi. Yang kukhawatirkan adalah sepulang dari rumah sakit, aku akan mual muntah berlebih kembali. 

***

Selasa, 17 Februari 2015

Janinku sudah lincah. Sehari bisa amat sering jedag-jedug. Apalagi kalau malam akan tidur, Abang yang membahasakan dirinya dengan sebutan Ayah menyapanya.

“Assalamu’alaikum Dedek, anak Ayah... Lagi apa? Sudah bobo belum? Apa lagi main bola?” 

Kalau sudah disapa ayahnya seperti ini, aku hanya senyam-senyum. Sekejap kemudian pasti terasa kedutan keras, dedek tahu kalau dipanggil ayahnya. Abang menempelkan kepalanya di atas perutku untuk mendengar dan merasakan gerakan anaknya. Sambil mengajak cerita, bertanya banyak hal dan memberitahukan banyak hal. Dan selama diajak berbicara itulah perutku terasa berkedut-kedut keras. 

Hari ini periksa memakai USG lagi. Sambil berbaring, aku berusaha melihat ke arah komputer di sisi kanan kepalaku. Dokter menunjukkan usia kehamilan 27w5d, berat badanku sudah 50 kg. Bayi dalam kandunganku beratnya 1070 gram. 

“Tenang saja, Insyaa Allah semua bagus. Berat janin segitu normal di usia kehamilan 27 minggu. Nanti kalau sudah 7 bulan ke atas akan meningkat pesat. Jadi jangan khawatir. Bismillah tawakkaltu ‘alallah.” Dokter Suandi berusaha menenangkan Abang.

Setelah beranjak dari tempat tidur, aku tak lupa mengutarakan keluhan lebih detail tentang ketakutanku akan asam urat serta gusi berdarah. Dengan senyuman dan tutur lembut dokter kembali memberikan jawaban menenangkan.

“Itu biasa, memang bawaan bayi. Bukan asam urat, tapi memang sudah kodratnya seperti itu. Untuk gusi berdarah juga jangan khawatir, sebagian besar para ibu hamil mengalaminya. Kram di persendian dan gusi berdarah adalah pengaruh hormonal saat hamil, jadi jangan was-was. Bawa santai saja.“

Tanggal 7 Mei sudah sebentar lagi. Waktu berjalan tak akan terasa. Masih banyak yang mesti kami persiapkan sebagai calon Ibu dan Ayah muda. Doa-doa suci senantiasa kami haturkan kepada Allah, semoga Allah senantiasa mendengar lagi mengijabah doa-doa kami. Mamak, Bapak, Ayah dan Ibu juga sudah tak sabar menanti kehadiran buah hati kami. Semoga semua dilancarkan. Harapanku bisa melahirkan normal dan memberikan ASI sampai dua tahun. Semoga kami bisa menjadi panutan dan pendidik yang baik untuk buah hati kami. Semoga Allah ridhai. Semoga pula kami senantiasa menjadi orang-orang yang bersyukur dan terus bersyukur.

***

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Ria Hidayah, S. Pd., lahir di Belinyu, 26 Oktober 1990 adalah putri pertama dari 4 bersaudara pasangan Ridwan dan Yuniar dan istri dari Seftian Pramudya, S.Pd. (teman sekelas seperjuangan sejak kelas 1 SD hingga 3 SMA). Pecinta Qur’an, penyuka handicraft dan penggila Winnie the Pooh yang bercita-cita menjadi guru berprestasi, penulis terkenal, dan crafter berbakat ini sedang menunggu detik-detik kelahiran anak pertamanya. Alumni Strata 1 Prodi Pendidikan Biologi Universitas Sriwijaya tahun 2013 ini mengisi waktunya denganmengajar IPA, PAI, dan TIK di SMP N 1 Belinyu dan Matematika serta ekstrakulikuler Tilawah di MTs Al Istiqomah. Mengajar sambil berbisnis aneka kerajinan tangan serta macam-macam aktivitas menulis salah satunya cukup rutin mengisi blog. Antologi tentang Bumil dan Busui kali ini adalah antologi pertama yang dituliskan setelah menulis 59 antologi yang telah terbit dan vakum hampir 2 tahun. Pernah juara harapan 1 lomba karya tulis tingkat prov. Kep BABEL kelas 2 SMA, juara 5 event Hereafter Savings tema Kesetiaan dan Juara Favorit 1 event Momen Indahnya Kebersamaan. Domisili di Belinyu. Email r_ia_h@yahoo.co.id. Fb Muth El Hadi (Ria Hidayah). Blog riahidayah.blogspot.com.

Ria Hidayah, S.Pd.

Suatu siang saat jalan-jalan bersama suami, tidak sengaja kuliat durian dan rasanya ingin sekali memakannya. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak menyukainya. Hal itu berlaku juga pada tempe dan wortel. Sebaliknya, makanan yang kugemari malah kubenci. Rujak misalnya. Saat hamil, malah makin mual ketika menikmati rujak. 

Waktu kandunganku sudah memasuki usia 6 bulan, aku jadi berlebihan makan. Rasanya semua makanan bisa masuk perut. Bahkan minum susu bisa 4 kali sehari. Masa hamilku ketika itu bersamaan dengan bulan puasa. Jadi ketika orang lain menahan lapar dan haus, aku malah makan di siang bolong. Saat sahur, aku juga ikut sahur. Orang lain buka puasa, aku tetap ikutan. Tidak heran berat badanku yang awalnya 50 Kg naik jadi 70 Kg.

Anehnya saat USG, dokter mengatakan kalau janinku kecil. Dokter pun menyaranku untuk mengkonsumsi es krim. Aku makin senang, kemudian hampir tiap hari kumakan es krim. Saking berlebihannya, berat badan bayiku saat lahir adalah 3,8 Kg dengan panjang 49 cm. Allhamdulillah itu dengan proses normal. Aku, suami dan keluarga sangat bahagia dengan kelahirannya.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Kartika Sari, tinggal di jalan Mandala 5 RT. 5 RW. 2 No. 18 Jakarta Timur. Ia lahir di Jakarta, 20 November 1994. Ibu muda yang hobi beres-beres rumah dan main HP ini memiliki akun facebook Kartika Sari Prasetiyo.

Kartika Sari
Bagaikan dapat durian runtuh, itulah pepatah yang pantas menggambarkan perasaanku pada saat aku dinyatakan positif hamil. Aku tidak menyangka sama sekali kalau aku bisa hamil secepat itu. Karena belum lepas dari ingatanku indahnya masa-masa menjadi pengantin. Hanya kurang lebih 2 bulan pernikahan, aku sudah positif hamil. Padahal sama sekali aku dan suami tidak pernah merencanakan mau punya anak secepat itu. Kami berdua enjoy saja, hanya menyerahkan nya saja semua kepada Allah. Tapi ternyata Allah member kepercayaan kepada kami. Dia memberikan kami anugerah yang paling indah dalam hidup kami.

Senang sekali aku rasanya karena sebentar lagi aku akan punya baby dan menjadi seorang ibu. Apalagi kehamilanku ini tidak seperti kebanyakan orang. Aku tidak mengalami muntah-muntah. Aku hanya mual saja, badan lemas, dan bawaannya ngantuk, serta malas. Tapi semua itu bisa aku jalani dan aku lewati seperti biasa. Aku masih bisa bekerja dan melakukan aktivitas. Tapi suamiku melarang aku terlalu capek. Dia tidak membolehkan aku mengerjakan pekerjaan rumah. Semua pekerjaan rumah, suamiku yang mengerjakannya.

Sungguh aku tidak tega sekali melihat suamiku harus menggantikan posisiku di rumah padahal aku tahu dia juga capek. Dia sudah bekerja di luar dan sampai di rumah harus mengerjakan pekerjaan rumah lagi. Tapi suamiku marah kalau dia tahu aku mengerjakan pekerjaan rumah. Dia sangat sayang dan perhatian sekali pada saat aku hamil. Dia selalu mengantarkan aku periksa kandungan setiap bulan. Dia juga selalu membelikan aku susu hamil, vitamin, dan buah-buahan. Pokoknya suamiku baik bangetlah. Apalagi dia tahu kalau aku mengandung anak laki-laki. Suamiku makin dan semakin sayang sama aku. Dan beruntungnya lagi calon bayiku pengertian sekali.

Aku tidak ada ngidam yang aneh-aneh. Dan aku juga masih bisa bekerja di luar. Meskipun suamiku juga melarang aku kerja di luar tapi aku tidak bisa harus di rumah lama-lama. Aku tidak betah karena aku memang sudah terbiasa bekerja. Sampai usia kandunganku 9 bulan 10 hari aku masih bekerja. Sampai-sampai bosku di tempatku bekerja selalu memberi pujian kepadaku karena dia bilang aku Wonder Woman.

Aku masih sanggup bekerja padahal aku sudah mau melahirkan dan aku juga tidak pernah bolos bekerja walaupun sedang hamil. Karena bagiku hamil bukan alasan untuk kita jadi orang yang malas. Apalagi kata orang-orang, apa yang kita lakukan dan kita ucapkan pada saat hamil akan terasa dampaknya kepada anak yang kita kandung. Makanya aku selalu melawan rasa malasku pada saat hamil. Aku rajin sekali bekerja agar anakku juga jadi orang yang rajin. Hanya pekerjaan rumah saja yang tidak aku kerjakan karena suamiku yang tidak membolehkannya.

Waktu tibanya usia kandunganku menginjak usia 9 bulan 10 hari, aku mengeluarkan bercak darah. Aku terpaksa minta izin pulang sama bosku padahal aku baru tiba di kerjaan. Dan bosku mengizinkan aku pulang. Aku hubungi suamiku lalu dia permisi juga dari kerjaannya dan menjemput aku pulang ke rumah. 

Tiba di rumah,aku tidak merasakan apa-apa. Bercak darah pun tidak ada keluar lagi. Sampai malam harinya baru aku merasakan perut bawahku perih tapi masih bisa aku tahan. Besok paginya lalu aku diantar orangtuaku ke rumah sakit karena aku merasakan sakit yang luar biasa. Satu hari lamanya aku merasakan perutku mules. Sampai-sampai aku mengeluarkan darah yang begitu banyak. Katanya sich aku mengalami kembar darah. Sakitnya sungguh luar biasa. Aku pun tidak tahan lagi dan akhirnya memutuskan untuk Caesar. Walaupun suami dan kedua orang tuaku tidak mengizinkan tapi aku tetap niat ingin Caesar. 

Akhirnya operasi di lakukan malam itu juga. Alhamdulillah, berjalan lancar.Aku melahirkan anak laki-laki dengan berat 2,7 kg dan panjang 4,5 cm. Sekarang anakku sudah berumur 13,5 bulan.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Andriyani Oktavia Samosir, lahir di Medan tanggal 15 Oktober 1986 lalu. Ibu rumah tangga yang gemar menulis ini berdomisili di jalan Meteorologi 1 No.12 Kel. Indra Kasih Kec. Medan Tembung Medan- Sumut. Untuk kontak lebih lanjut bisa via akun facebook Yanie Yurie.

Andriyani Oktavia Samosir
Sebagai seorang ibu, siapa yang tak teriris hatinya ketika melihat bayi berusia 15 bulan, harus terhenti kehidupannya lantaran asap? Beberapa hari lalu, postingan itu melintas di beranda facebook saya. Ada air mata yang hampir menetes, teringat bayi saya yang kini hampir berusia 14 bulan. Tapi cepat-cepat saya tepis bayangan si kecil. Tidak, saya bahkan tak mau membayangkan bayi yang telah 9 bulan saya kandung dan kemudian lahir dengan penuh perjuangan itu berada di posisi yang sama. Saya tak ingin, bahkan sekedar memikirkan betapa tak berharganya kehidupan setelah kehilangan buah hati yang sama artinya dengan kehilangan masa depan.

#DaruratAsap #MelawanAsap masih menjadi topik hangat di media sosial sejak sebulan yang lalu. Riau-Jambi-Palembang-Palangkaraya dalam kondisi udara terparah dalam sejarah kabut asap di Indonesia. Sayangnya, informasi mengenai keadaan tersebut sampai saat ini belum menjadi berita utama di televisi nasional. Bahkan, berita mengenai bayi yang meninggal itu pun, hanya melintas sekali lewat. Saya baru bisa menemukan fakta-fakta korban berjatuhan hanya ketika mencarinya di google yang kemudian merujuk saya ke situs-situs berita lokal.

Banyak yang mendesak pemerintah untuk segera menanggulangi kabut asap ini. Banyak yang berempati dan mengulurkan bantuan sebisanya. Tapi banyak pula yang kemudian nyinyir, mengatakan bahwa kabut asap adalah bencana buatan manusia di daerah dimana kabut asap melanda. Yang salah bukan pemerintah pusat, yang salah adalah rakyat yang membiarkan lahan-lahan dikuasai oleh perusahaan yang melakukan pembakaran. Yang salah adalah rakyat yang tak becus memilih pemerintah daerah setempat. 

Memang, mungkin salah bila kita mutlak menyalahkan pemerintah pusat. Tapi bagaimana dengan mereka? Salahkah bayi dan balita yang menderita ISPA? Salahkah siswa yang kegiatan sekolahnya diliburkan? Salahkah anak-anak yang tak lagi bisa keluar untuk sekedar main di halaman? Tahukah mereka tentang perusahaan yang melakukan pembakaran? Memilihkah mereka ketika PILKADA dilaksanakan? Lalu, mereka yang tidak tahu menahu itu mengapa ikut menjadi korban?

Saya tahu, kabut asap memang bukan bencana nasional. Asap tak seperti Tsunami dan gempa bumi. Asap tak seperti puting beliung dan letusan gunung api. Tapi bayangkan rasanya jika pagi-siang-sore-malam diasapi, setiap hari!

Mungkin karena itulah akhirnya banyak yang curhat di jejaring sosial. Hampir 2 bulan menghirup udara dengan kategori berbahaya rasanya memang sangat menyiksa. Saya sendiri yang harus bolak balik rumah - toko pada pagi dan sore hari sering merasa sesak, sakit kepala, dan mual ketika sampai di rumah. Saya yang masih sehat-bugar ini saja butuh perjuangan untuk bisa menembus asap, apalagi mereka yang mungkin renta, hamil, atau bayi dan balita? 

Tapi biarlah mereka yang tidak merasakan mata perih dan dada sesak tetap bahagia dengan udara yang dihirupnya. Menyuruh mereka untuk tinggal bersama kita, apalagi sampai mendoakan mereka mengalami hal yang sama, kesannya egois sekali. Saya sih masih bersyukur, meskipun berasap, PLN dan PDAM sering mati, tapi Palembang tidak terkena bencana alam yang dapat sekali hantam menghancurkan rumah kita, seperti yang pernah dialami daerah lain. Semua ada bagiannya masing-masing. Jangan berkecil hati dan merasa bukan bagian dari Indonesia. Jangan sampai kita terpecah-belah lantaran merasa paling tersiksa.

Seperti badai yang pasti berlalu, asap ini pun nantinya akan lenyap. Maka, teruslah berharap. Karena harapan membuat kita mampu lebih lama bertahan. Jangan skeptis pada pemerintah. Karena bagaimanapun, merekalah yang punya kemampuan dan tanggung jawab untuk bertindak menyelesaikan masalah ini. Tak mungkin mereka sama sekali tak peduli. Memang, penyelesaiannya agak lambat, tapi bukan berarti kita berhak atau malah latah mencaci-maki. Kalau saya, cuma bisa kasih tips ini, baca: Kabut Asap dan Kesehatan Anak

Yang terpenting, jangan pernah berhenti berdoa. Karena ada yang jauh lebih kuasa dari kuasanya pemerintah, dari daya upaya kita. Bisa jadi kabut asap ini sebenarnya adalah kabut cinta dari-Nya. Toh, lewat kabut asap kita jadi tahu betapa berharganya udara bersih untuk bernafas. Kita juga bisa belajar lebih bersyukur dan bersabar. Dan mengutip statusnya Bang Tere, "...Allah tidak akan menguji melebihi kemampuan kita. Saat manusia tidak bisa menanggung lagi beban ini, Allah akan menyelesaikannya, mudah sekali bagi Allah mengirimkan hujan, tapi Allah menunggu, siapa sebenarnya yang memang peduli dan kongkret."

Kabut Asap pagi di Simpang Dogan
30 September 2015, 07.50 WIB



''Alhamdulillah...'' ucapku penuh syukur saat melihat alat tes kehamilan menunjukkan positif hamil. Memang aku dan suami merencanakan langsung punya momongan setelah menikah, dan Allah mengabulkannya. Sungguh bahagia dan syukur yang tiada terkira. Hanya saja, tanggung jawabku sebagai kepala sekolah sempat membuatku sedikit khawatir. Pasalnya aku harus sering bolak-balik ke kota kabupaten bahkan provinsi yang jaraknya sangat jauh dan harus melewati pegunungan untuk mengikuti beberapa kegiatan dan workshop. Perlahan kuelus perutku dan berkata dalam hati, ''Sayang ... Kita akan melewati banyak rintangan. Kamu yang kuat ya, Sayang. Bunda akan selalu menjagamu.''

Benar saja, di dua bulan usia kandungan, aku harus ke Kota Masohi, ditempuh dalam waktu 6 jam perjalanan. Itu tidak hanya sekali. Apalagi saat itu sekolah kami mendapat bantuan sebuah gedung perpustakaan dari dana DAK pemerintah kabupaten. Pernah ketika aku baru 2 hari di rumah, ditelepon untuk berangkat lagi ke Masohi karena ada kegiatan monitoring dari provinsi. Selesai kegiatan tersebut, badanku down. Rasanya dingin, mulut pahit dan tubuh seakan tak bertenaga. Tapi tugas juga tidak bisa ditinggalkan. Setelah sehari istirahat, aku kembali berangkat ke sekolah. 

Seminggu kemudian, aku harus kembali ke Kota Masohi untuk mencairkan dana bantuan bangunan tahap ke-2 dan 3 dengan kondisi tubuh yang belum benar-benar fit. Proses pencairan tak segampang yang kukira. Karena saat itu ada ratusan sekolah yang datang untuk tujuan yang sama, alhasil harus rela mengantre berjam-jam bahkan sampai malam. Ujian tidak sampai di situ, pencairan tahap ke-3 terkendala. Karena ada masalah di sekolah yang lain, beberapa sekolah termasuk sekolahku tidak bisa segera mencairkan dana. Kemungkinan 2 sampai 3 bulan kemudian baru bisa cair. 

“Ya Allah ...” batinku. “Berilah aku dan janinku kekuatan serta kesabaran.” 

Setelah pulang dari Masohi, beberapa hari kemudian terjadi masalah dengan perutku. Tiba-tiba saja perutku sakit dan nyeri. Memang tadi waktu keluar dari gerbang sekolah, motorku sempat anjlok di jembatan. Mamah sangat khawatir, beliau langsung menelepon bu bidan. Bu bidan lalu memberiku suntikan dan vitamin penguat kandungan. Aku harus bedrest selama 3 hari, tidak boleh turun ranjang kecuali untuk ke kamar mandi dan makan. Waktu itu kandungan baru memasuki usia 4 bulan, masih sangat rentan. Terlihat muka Mamah sedikit pucat, gemetar karena khawatir. Diam-diam aku meneteskan air mata. Betapa kau mencintaiku, Mamah.

Menginjak usia 5 bulan kandungan, kondisi badanku mulai pulih. Selera makanpun kembali, aku selalu ingin makan yang enak dan pedas. Ada-ada saja keinginanku, kadang ingin makan ayam asam pedas, sop kepiting, dan lain-lain. Beruntung aku tidak mengidam yang aneh-aneh. Perutku juga mulai membesar, sering kuelus dan ajak mengobrol. Katanya kebiasaanku itu bisa menstimulasi otak anak supaya cerdas. 

Pada bulan ke-6, Mamah sudah menetukan tanggal selamatan 7 bulanan. Katanya menurut adat jawa, tanggal yang baik adalah tanggal 7, 17 dan 27. Aku ikut apa kata Beliau. Nah, sebelum selamatan, kembali aku mendapat tugas mengikuti workshop. Kali ini di Ambon. Akhirnya aku ditemani mamah berangkat ke sana, Mamah tidak tega melihatku dengan perut besar sendirian. Perjalanan ditempuh sehari semalam dengan bus, lalu harus menginap di pelabuhan fery untuk menyeberang ke Pulau Ambon. 

Baru keesokan harinya kami menyeberang dengan kapal dan tiba di Ambon sekitar jam 9 pagi. Untung ada adik lelakiku yang sedang kuliah di kota itu. Jadi selama kegiatan, Mamah bisa tinggal di kost-kostan adikku. Workshop berjalan 2 hari, kegiatannya dimulai dari pagi hingga larut malam. Pinggang rasanya panas karena terlalu lama duduk untuk mendengarkan materi. Kuelus-elus perutku sambil berkata dalam hati, ''Sabar ya, Sayang ...''

Belum selesai kegiatan di Ambon, kembali aku mendapat telepon dari dinas kabupaten untuk segera datang mencairkan dana tahap ke-3 bangunan sekolah. Begitulah, usai workshop, kami mampir dulu ke Masohi menggunakan kapal cepat. Kembali, prosesnya berjalan lama. Hampir sebulan aku di situ sendirian karena Mamah pulang terlebih dahulu. Selesai pencairan dana, aku langsung pulang dan memutuskan istirahat total, menunggu kelahiran buah hati. Lagipula suami pun tidak mengizinkan aku pergi-pergi lagi. Alhamdulillah, pada pertengahan Ramadhan, lahirlah putri pertama kami yang diberi nama Adzkia Saufa Ramadhani.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Hermawati, guru honor dengan akun facebook Erly ThepowerofLove ini lahir di Maluku Tengah, 02 Desember 1986. Ia tinggal di Desa Wonosari, Kec. Seram Utara Timur Seti, Kab. Maluku Tengah. Hobinya membaca buku.

Hermawati

Aku menikah tanggal 10 Juni 2013 pada usia ke-20 tahun. Setahun kemudian, aku mengandung anak pertama. Sebelum tahu kalau hamil, aku sering mual-muntah dan sakit kepala. Akhirnya kuputuskan periksa ke dokter kandungan. Oleh dr. Suhendri yang beralamat di Tanjung Pandan Belitung Barat, usia kandunganku dinyatakan sudah 2 bulan. Aku, suami dan seluruh keluarga besar sangat senang dan bahagia. Ini calon anak dan cucu pertama di keluarga besar kami. 

Saat usia kandunganku 3 bulan, aku mulai tidak nafsu makan atau minum. Terlebih nasi, mencium baunya saja membuat mual-muntah. Air juga tidak bisa masuk ke dalam perut. Aku mulai resah, bagaimana dengan kondisi janinku kalau terus seperti ini? Akhirnya kupaksakan meski setelah masuk harus kumuntahkan lagi dan lagi. Begitulah seterusnya, hingga aku harus menginap selama 3 hari di rumah sakit. Aku ketergantungan obat anti mual dari dokter. 

Dalam kondisi lemas, aku masih harus bekerja di salah satu perusahaan Belitung. Karena sering tidak masuk kerja, peringatan datang berkali-kali. Aku terpaksa bekerja sebab kebutuhan hidup harus dipenuhi, apalagi kami sudah punya calon buah hati. Hati ini berat untuk berhenti bekerja, jadi tetap kulakukan walaupun keadaan hampir tak berdaya. 

Keadaan itu diperburuk dengan penyakit cacar api yang menyerangku. Aku semakin khawatir dengan kondisi janinku yang baru 4 bulan. Tubuh terasa panas bak dibakar, begitu menyakitkan sekaligus gatal. Aku terus berobat tanpa putus asa. Setelah 2 minggu terbaring sakit hingga berat badan turun 11 Kg, akhirnya saya sembuh dan Alhamdulillah dokter menyatakan janinku baik-baik saja. 

Menginjak usia kandungan yang ke-7 bulan, aku sudah bisa makan dan minum sedikit demi sedikit meskipun masih mengkonsumsi obat anti mual. Aku pun mempersiapkan kelahiran sang buah hati, menjaga diri dengan cara berjalan pelan dan tidak terlalu jauh tiap subuh dan selepas kerja. Juga sering jongkok ringan untuk mengendorkan otot-otot jalan lahir. 

Ketika usia kandungan sudah 9 bulan lebih 11 hari, di jam 5 pagi kurasa ngilu pada perut. Baru kuindahkan ketika rasa ngilu kurasa tiap 10 menit. Jadi tepat jam 1 siang, kuhubungi bidan. Setelah diperiksa, ternyata sudah bukaan satu. Karena masih kuat jadi kuputuskan untuk tetap di rumah saja. 

Setelah rasa sakitnya kian sering, yakni dirasa tiap 2 menit sekali, pada pukul 16.10 WIB, aku kembali diantar suami pergi ke bidan. Butuh waktu setengah jam untuk sampai tiba di tempat tujuan. Ternyata sudah bukaan 4. Sakitnya terus menerus dirasa, hampir tak ada jeda bahkan bidan tidak sempat memeriksa detak jantung janinku. Kemudian pada pukul 18.18 WIB tanggal 19 April 2014, anak kami lahir. 

Sujud syukur tak lupa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan keselamatan padaku dan bayi kami. Tangis haru dan bahagia terlihat dari semua keluarga kami. Walau sewaktu hamil penuh cobaan dan air mata, fase-fase terlewati dengan baik dan rasa sakitnya tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan kebahagiaan karena kehadiran sang buah hati yang telah dinanti. Tidak semua wanita beruntung mendapatkan keturunan, oleh karenanya sayangilah janin dalam kandungan dan lawan segala cobaan serta rasa sakit itu. Tetap semangat dan terus berdoa. 

Terima kasih Yaa Allah ... telah Engkau beri anugerah terindah yaitu seorang bidadari bernama Laesa Kurnia Nengsih.

Semoga kisah ini bermanfaat. Salam sayang dari saya, Lisnawati. 

Langang, Belitung Timur
30 Januari 2015

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)
Penulis: Lisnawati, lahir di Tanjung Pandan, 01 September 1992. Karyawan swasta yang gemar menyanyi ini beralamat di jalan Tengah Dusun Langkang Desa Lintang RT. 25 RW. 6 Kec. Simpang Renggiang Kab. Belitung Timur Prov. Bangka Belitung. Ia bisa dihubungi di akun facebook Lisnade Selalu Dihati.
Lisnawati

Menjadi seorang ibu memang dituntut untuk bisa ini-itu. Mengurus anak, mengurus suami, dan mengurus rumah, tiga hal wajib yang rasanya benar-benar menyita waktu. Saya sempat berpikir, apakah setelah menjadi ibu, saya tak lagi bisa melakukan hal lain di luar semua itu? Bukannya saya tidak bersyukur, tapi di dalam hati, ada keinginan lain. Menggapai mimpi misalnya.

Saya suka menulis. Sejak lulus SD saya mulai suka corat-coret buku entah itu menulis pantun, puisi asal jadi, juga cerpen. Kadang seisi kelas bergantian menikmati hasil coretan tangan saya. Hobi itu masih saya geluti sampai SMA. Saat itu saya benar-benar ingin jadi PENULIS! Tapi kemudian, ketika saya lulus dan dihadapkan pada kenyataan hidup, saya membuang mimpi itu.

Lama, setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun kemudian saya menemukan dunia menulis online. Saya bergabung dengan grup-grup kepenulisan di facebook. Saya ikuti lomba-lombanya, sampai kemudian saya memungut kembali mimpi yang telah saya buang bertahun-tahun itu. Ternyata, saya masih ingin jadi PENULIS!

Saya belajar dan bertekad menggapai mimpi itu sebelum saya lulus kuliah dan naik ke pelaminan. Alhamdulillah, berhasil. Saya telah menerbitkan 3 novel remaja yang mejeng di toko buku seluruh Indonesia. Mimpi itu telah jadi kenyataan.

Tapi saya kemudian menemukan kenyataan lain. Saya tak bisa mempertahankan label "PENULIS" setelah saya dianugerahi label "IBU". Saya disibukkan dengan bayi kecil, suami, urusan rumah, dan urusan uang. Saya tak lagi punya waktu untuk menulis karena waktu untuk beristirahat saja rasanya kurang.

Saya menikmati kebersamaan dengan anak, suami, dan keluarga. Saya menikmati semuanya. Tapi tetap ada yang kurang. Seperti ketika lidah terbiasa makan pedas, lalu harus dibiasakan makan tanpa cabai. Rasanya kurang ada sensasinya.

Akhirnya, saya membulatkan tekad untuk kembali menulis. Setidaknya dari blog. Blog inilah yang kemudian saya buat untuk melengkapi rasa yang kurang tadi. Saya sekarang seorang ibu, dunia saya tak jauh dari urusan anak dan keluarga. Saya akan menuliskan apa-apa yang saya alami dan mungkin bisa berguna bagi orang lain. Baca: Ibu Rumah Tangga Juga Bisa Jadi Penulis.

Saya mencari celah untuk dapat menulis. Ketika semua rutinitas telah beres, itulah waktu saya. Di sebelah anak yang tertidur, saya mulai ketak-ketik sambil sesekali mengusap dan menepuk halus punggungnya jika ia gelisah dalam tidurnya. Kadang pula saya buru-buru membuat susu jika si kecil mulai merengek haus.

Kalau Jagoan ini bangun,
aktivitas ketak-ketik berubah jadi tepak-tepuk :D

Untuk satu postingan, saya menghabiskan waktu paling tidak 2-3 jam di malam hari. Itulah mengapa rata-rata postingan saya dipublish tengah malam. Kalau ada yang dipublish pagi atau siang, itu pasti karena si kecil tidurnya tidak tenang, sehingga saya terpaksa berhenti menulis dan melanjutkan sisa tulisan untuk diposting esok harinya.

Begitulah, saya sedang berusaha konsisten untuk terus menulis. Karena saya yakin, menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tak bisa melakukan hal lainnya. Banyak ibu-ibu di luar sana yang tetap bisa mengatur waktunya untuk menggapai mimpi. Kalau mereka bisa, saya juga bisa kan? 

"Ciptakan peluangmu, Bu! Kita tetap bisa bermanfaat bagi dunia meski telah jadi ibu-ibu..."

Diikutsertakan dalam Giveaway Cerita di Balik Blog
Saya menikah 15 Juni 2013. Pada saat itu saya sudah bekerja di sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Samarinda, yaitu RS Darjad. Karena ada suatu masalah, akhirnya saya berhenti. Lepas itu, saya tidak bisa duduk manis di rumah. Saya ingin membantu suami untuk mencari nafkah agar bisa punya rumah sendiri. Setelah beberapa hari mencari pekerjaan, datanglah panggilan kerja di sebuah bank ternama. Tapi belum rezeki, mereka mengutamakan wanita yang belum menikah dan bisa untuk ditempatkan di manapun cabang bank berada. Saya lalu berusaha kembali mencari pekerjaan, dan akhirnya dapat di suatu perusahaan tempat dimana ada teman saya yang juga bekerja di sana. 

Hari-hari terlalui seperti biasa tapi kali ini setiap bulan selalu berdebar menunggu kabar kehamilan saya. Tanpa bosan tes urine, minggu terakhir Desember 2013 saya tetap mencoba pakai testpack karena tidak datang bulan selama 2 minggu lebih. Hasilnya ... sedikit membuat saya senang meskipun masih ragu. Akhirnya saya periksa ke bidan dan dinyatakan positif hamil. 

Rasanya senang sekali. Namun ada kesedihan dan perasaan was-was karena baru bulan ke-4 saya bekerja. Apakah saya akan dipecat? Dengan kebulatan tekad, saya tidak mau ambil pusing. Ternyata Allah begitu sayang, bukan hanya calon buah hati tetapi pekerjaan juga tak hilang. Saya tidak sendiri, para sahabat jua sedang hamil. Akhirnya ada teman untuk berbagi karena kami berada pada kondisi yang sama.

Selama hamil, tidak ada mual atau ngidam seperti orang hamil pada umumnya. Hanya saja kondisi tubuh mudah lelah. Berkat dukungan serta kasih sayang yang diberikan suami membuat saya tetap bersemangat menjalani kehamilan. Dia juga adalah sosok imam yang sempurna, bangga dan sangat bersyukur diri ini telah memilikinya. 

Saya tetap bekerja rutin, tak boleh ada kesempatan mengeluh. Saya ingin kelak si buah hati menjadi anak yang pantang menyerah dalam meraih cita-cita. Sewaktu ramadhan, usia kandungan sudah 7 bulan. Saya pun tak ketinggalan berpartisipasi menjalankan perintah agama, karena ingin mengajarkan sang anak untuk berpuasa sedini mungkin. Namun tidak seindah yang diharapkan, ternyata saya hanya sanggup bertahan 3 hari. Saya muntah-muntah sebab maag.

Tiap bulan saya rutin periksa ke puskesmas atau pun dokter spesialis kandungan. Keadaan janin normal, air ketuban dan posisinya juga bagus. Nah ketika memasuki bulan ke-8, posisinya menjadi sungsang dan terlilit tali pusat. Sedih dan takut sekali rasanya, beruntung dukungan suami dan orangtua tak pernah lepas. Orangtua menyarankan agar dipijat agar bisa mengubah posisinya mumpung belum 9 bulan. Dokter juga menyarankan agar saya sering dalam posisi sujud. Semua saran saya ikuti. 

Apalah daya, Allah berkehendak lain. Sang janin tetap dalam keadaan demikian. Walau perkiraan kelahiran jatuh pada akhir Agustus atau awal September 2014, oleh karena air ketuban sudah mulai berkurang maka di awal Agustus saya pun direncanakan dokter bersalin lewat operasi tanpa harus menunggu adanya kontraksi.

Tanggal 4 Agustus 2014 di hari Senin, orang tua menganjurkan saya bersalin di hari itu. Katanya hari baik karena merupakan hari kelahiran Rasulullah. Lagi-lagi saya menurut. Sesampainya di RS, ternyata saya tidak bisa lagsung dioperasi karena masih membutuhkan obat yang disuntikkan pada tubuh saya demi kebaikan jantung janin saya.

“Harus dikuatkan dulu sebelum dioperasi,” kata tenaga medis yang menyuntik saya.

Esoknya, lahirlah seorang bidadari kecil, hasil buah cinta saya dengan suami tercinta. Kami menamainya Zahidah Akualbi Nadhifa, yang artinya wanita cantik, berhati baik dan lemah lembut.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)

Penulis: Kartika Ayu Lestari dilahirkan di Samarinda pada 14 Maret 1991 silam. Ia menetap di Perum Pondok Karya Lestari No. 710 Blok B RT.09 RW.03 Sei Kapih, Sambutan, Samarinda Kaltim. Pekerja swasta yang suka mendengarkan musik ini bisa dihubungi via akun facebook Thika Cuantik.

Kartika Ayu Lestari

Setengah tahun dari pernikahan, aku dinyatakan hamil setelah sebelumnya sempat ditanyakan terus oleh bapak mertua yang sepertinya ingin segera mendapat cucu dari kami. Sebuah kehamilan yang membahagiakan dan dinanti karena usiaku sudah mendekati kepala 3, tapi aku optimis karena banyak teman di kantor yang mengalami hal yang sama. Aku lihat mereka enjoy dan tenang walau hamil di usia 30-an.

Karena morning sickness, mual kurasa sejak mandi jam 5 pagi dan berlanjut saat di mobil yang disetir suami menuju kantor di bilangan Sudirman. Karena sudah sangat paham dengan kebiasaan baru, tong sampah di dalam mobil berubah menjadi penadah muntah. Setelah muntah terasa lebih lega, aku jadi bisa menikmati sarapan dengan menu yang kusuka: roti tawar isi bervariasi dari isi coklat, keju, susu cair, meses atau dibuat sandwich dengan potongan tomat dan tuna lapis mayonais. Selain itu, aku yang biasanya tidak suka telur ceplok, ketika hamil malah hampir setiap saat menikmatinya. Kalau katanya orang hamil suka ngidam atau suka rujak, ternyata aku tidak mengalaminya.

Melangkah pada trimester 2, rasa mual-muntah mulai hilang. Sekarang ganti nafsu makan membesar karena saat makan jadi terasa lebih enak tanpa khawatir dimuntahkan lagi. Tidak heran pada kehamilan pertama total kenaikan berat badanku sampai 21 Kg.

Aku mulai mengikuti senam hamil pada trimester 3. Banyak manfaat yang diperoleh mulai dari pelajaran perawatan payudara, persiapan memberi ASI, cara mengejan saat persalinan, perlengkapan yang harus dipersiapkan saat jelang hari persalinan, senam untuk membantu kelancaran persalinan, perawatan bayi lahir hingga bertemu dengan sesama teman yang hanya berbeda minggu umur kelahiran. Kami jadi saling share dan mendoakan.

Ternyata perkiraan kelahiran dari dokter maju 2 minggu sehingga hari pertama cuti adalah hari kelahiran Filza Azkiya. Sebelumnya pada 24 Maret 2008 pukul 03.30 WIB, aku terbangun dari tidur karena keluar air seperti kencing padahal aku merasa tidak pipis. Pun ada sedikit bercak darah, yang kata pengajar senam hamil inilah tanda kelahiran.

Aku hanya ditemani suami berangkat ke RS. Hanya berdua karena Mama masih di Purbalingga dan butuh 10 jam perjalanan ke Jakarta. Setibanya, dilakukan pemeriksaan dalam padaku. Ternyata sudah pembukaan dua tapi aanehnya aku tidak merasa mulas. Sedangkan di sampingku ada bunda dengan kondisi yang sama, pembukaan dua juga, sudah memakai kain sarung dan perutnya mulas-mulas. 

Sampai jam 6 pagi, pembukaan bertambah menjadi 3 tetapi tidak mulas juga. Akhirnya bidan menghubungi dokter yang ternyata masih terkena macet di perjalanan. Dokter menganjurkan untuk diinduksi dengan cara menginfusku dan memasukan cairan melalui alat tersebut. 

Benar saja, sejam ke depan, mulai terasa mulas. Ketika pembukaan jadi 8 di jam 12 siang, para bidan memindahkanku ke ruangan tindakan. Karena dirawat di RS Haji, saat mau melahirkan aku diajak berdoa dan menahan sakit dengan menyebut Basmallah dan Allahu Akbar, tanpa ‘mengaduh-aduh’. 

"Aduuuh mulassss ... Cara mengejan bagaimana ya?" tanyaku.

Ada seorang bidan yang menjawab, "Coba ingat-ingat pelajaran senam hamilnya.”

“Lupaaa!" 

Dokter hadir saat mulas tiada hentinya. Proses kelahiran menjadi sangat cepat setelah ada yang dipecahkan oleh dokter. Cairan yang amat banyak keluar, dokter memberi aba-aba untukku mengejan. Kutarik nafas beberapa kali hingga saat puncak mulas aku disuruh mengejan, tarik nafas, nafas sambung, mengejan, nafas sambung akhirnya seperti buang air besar yang terbesar. Allahu Akbar ... lahirlah si kecil. Rasa sakit sirna saat melihat si kecil berlumur darah dan air ketuban. 

Inilah sekilas kisah kehamilan dan kelahiran yang membahagiakan. Semua berkat Allah yang memberi kemudahan walau melewati semua masa itu saat jauh dari orangtua dan saudara. Berbahagialah saat hamil dan nikmatilah setiap moment-nya maka semua akan terasa membahagiakan.

Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)

Penulis: Nenny Makmun, menulis tanpa batas (Write without boundaries) dalam http://noorhanilaksmi.wordpress.com/. Ibu dua puteri kelahiran 14 Juni 1975 menyukai aktivitas seputar rumah, menulis ditemani anak-anak yang ribut, jadi sopir dan sesekali mencoba resep-resep baru dan tengah bekerja sama mengelola les bahasa Inggris Homely. Tinggal di Perum Bukit Golf Arcadia Housing blok F6 no 10. Novel yang sudah terbit : Novel Ketika Mulai Mencintai (Zettu Publishing), Novel Di Sudut Hati (Rumah Oranye), Novel Karena Aku Memilihmu (Rumah Oranye), Cinta Tanpa Batas (Zettu Publishing), Forgotten Angel (Rumah Oranye), Pupus (Rumah Oranye), Dalam Sebuah Kloset (Grasindo), The Real Prince_teenlit (Alif Gemilang Pressindo, Aku Bukan Pilihan (Kino Pubishing). Email : nennyrch02@yahoo.com – FB : Nenny Makmun – Twitter @ichandfay.

Nenny Makmun

Akhir-akhir ini, nama-nama aneh bermunculan. Setelah nama Tuhan diekspos, menyusul pula nama-nama lain seperti Saiton, Malaikat, D, Andy Go To School, N, dan (.). Tentu saja masih ada banyak nama-nama tak biasa di luar sana yang lebih aneh dan unik. Sah-sah saja memang karena memberi nama adalah hak orangtua. Tapi alangkah baiknya jika kita berpikir matang-matang sebelum menyematkan nama tersebut untuk buah hati kita. Jika kita kembali merujuk ke literatur agama Islam, memberikan nama anak yang baik pun merupakan salah satu kewajiban orangtua terhadap anak. Jadi, anak berhak mendapatkan nama yang baik untuknya.

Nama adalah doa seumur hidup yang akan disandang oleh anak. Nama yang artinya baik, memiliki pengharapan yang baik pula. Nama yang dipilih tersebut, kelak dapat mempengaruhi kepribadian, cara hidup, dan lingkungan anak. Oleh karena itu, seharusnya orangtua memberikan nama yang baik sebagai penginspirasi kebaikan dalam hidup sang anak.

Bagi pasangan muda yang baru menikah dan tengah menanti kehadiran buah hatinya, momen pemilihan nama bayi menjadi hal yang tak kalah seru dan pentingnya dibanding persiapan persalinan yang lain seperti mempersiapkan perlengkapan bayi. Bahkan bisa dibilang, memilih nama bayi terasa lebih sulit daripada mempersiapkan hal-hal tersebut.

Artikel terkait: Persiapan Persalinan

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memilih nama anak yang baik, yaitu:

1. Cari nama yang memiliki makna

Carilah nama yang memiliki makna bagus. Bisa dengan mengambil nama-nama religius, mengambil nama-nama pemimpin dan orang populer, mengambil nama-nama benda, bisa juga dengan menggabungkan nama orangtua. Setelah didapat nama yang indah, carilah maknanya dalam berbagai bahasa. Jangan sampai nama yang kita pilih memiliki arti negatif dalam bahasa lain.

2. Cari nama yang mudah dieja

Hindarilah pemberian nama yang terlalu unik dan susah dieja. Hal ini bisa mempersulit anak semasa sekolah nanti. Nama yang mudah dieja mengantisipasi kesalahan pemberian nama di ijazah anak. Begitu pun nanti di dunia kerja.

3. Cari nama yang tegas menjelaskan jenis kelamin

Pilihlah nama yang jelas untuk anak laki-laki atau perempuan. Jangan memberi nama 'feminim' untuk anak laki-laki dan sebaliknya. Itu bisa menyulitkan anak di dunia kerja yang nantinya bisa saja mensyaratkan gender tertentu.

4. Cari nama yang kelak tidak membuat anak tertekan

Nama berpengaruh terhadap rasa percaya diri anak. Jika dia tidak menyukai namanya, maka ia akan minder ketika bergaul. Pikirkanlah nama yang tidak memancing ejekan teman-temannya. Jangan sampai nama yang kita pilih dapat dengan mudah diplesetkan menjadi nama jelek dan menjadi bahan memperoloknya di sekolah. Penting juga untuk menyesuaikan nama dengan zaman karena memberi nama yang terlalu klasik  pun dapat membuatnya tertekan.

Sebagai referensi, ada banyak buku nama-nama bayi yang terbit dan beredar di pasaran. Selain itu kita juga bisa memanfaatkan internet. Banyak situs yang bisa kita kunjungi untuk menambah ide-ide nama bayi. Atau bisa juga meminta masukan dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu. Boleh kakeknya, boleh juga Kyai atau Ustadzh. Hal ini untuk lebih meyakinkan lagi apakah nama yang kita pilih sudah benar-benar baik bagi anak kita sehingga kelak tidak ada penyesalan. Seperti yang kita tahu, nama adalah doa. Semakin sering disebut, sama artinya semakin sering didoakan. Maka, masihkah kita mau asal-asalan memberi nama? Bisa jadi nanti doa itu dikabulkan!

Saat peresmian nama Muhammad Khalid Rizieq
Ketika keluar dari toko semalam, saya melihat kabut asap menutupi sebagian jalan. Sepanjang perjalanan pulang, yang saya rasakan kemudian adalah rasa perih di mata dan sakit di tenggorokan. Beberapa kali saya terbatuk lalu memutuskan untuk menutupi hidung dan mulut dengan bagian depan jilbab yang saya kenakan. Saya memang tak menyiapkan masker, karena biasanya kabut asap tidak begitu tebal di malam hari.

Saya jadi teringat si kecil dan bersyukur karena ia telah pulang lebih awal bersama neneknya. Kemudian ingatan itu merambat ke batuk yang dideritanya dua minggu terakhir ini. Pantas saja, batuk itu seakan tak mau menjauh. Baru mau sembuh, lalu kumat lagi. Terutama di malam hari. Si kecil jadi gelisah saat tidur dan kerap muntah setelah menyusu.

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di sebagian daerah Sumsel tahun ini terasa sangat mengkhawatirkan. Kabut asap membuat jarak pandang menjadi terbatas, resiko kecelakaan meningkat. Selain itu, kualitas udara yang masuk kategori sangat tidak sehat, menjadi ancaman serius bagi kesehatan. Khususnya bagi penderita gangguan paru dan jantung, lansia, serta anak-anak.

Ketika saya membawa si kecil berobat ke dokter umum beberapa waktu lalu, pasien di sana pun sebagian besar adalah anak-anak dengan keluhan batuk dan pilek. Memang, dari sekian banyak dampak kabut asap bagi kesehatan, yang paling umum adalah iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, serta peradangan dan infeksi. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi mudah terjadi karena tidak seimbangnya daya tahan tubuh, pola bakteri/virus penyebab penyakit, serta buruknya lingkungan.

Untuk mengantisipasi si kecil dari dampak kabut asap yang membahayakan, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, yaitu:

1. Kurangi aktivitas di luar rumah

2. Jika memang terpaksa ke luar, pakailah kacamata agar tidak perih dan masker untuk menyaring udara yang dihisap

Si kecil pakai kacamata

3. Jangan sampai si kecil kurang cairan

4. Jaga asupan gizinya

5. Istirahat yang cukup

6. Jauhkan dari asap rokok

7. Upayakan agar polusi di luar tidak masuk ke rumah misalnya dengan membuka pintu dan jendela di pagi hari

8. Lindungi penampungan air minum dan penyimpanan makanan

9. Cuci buah-buahan sebelum di konsumsi

10. Bahan makanan dan minuman yang dimasak, masaklah dengan baik

Mudah-mudahan 10 hal tersebut bisa membantu menjauhkan anak kita dari polusi udara yang semakin tinggi tingkat pencemarannya. Mari kita berdoa semoga kabut asap cepat berlalu dan udara kembali bersih seperti dulu.
Setahun sudah rumah tangga kami, kejenuhan pun mulai ada. 

"Umi, coba ada dedek bayi ... pasti ramai! Kalau cowok, makin seru karena bisa main sama Abi," celoteh suami. 

Mendengarnya, aku hanya bisa berucap dalam hati, "Kenapa Allah belum memberiku momongan?"

Akhirnya, kami yang menikah tanggal 11 Juli 2012 kemudian ikut program hamil. Banyak dokter kami datangi, sampai akhirnya dokter mendiagnosa kalau ada kista di rahimku. Setelah itu, setiap hari kuminum obat dan rebusan daun sirsak. Alhamdulillah sembuh. Suami lalu mengajak program hamil ke RS Siloam. 

Pada 10 Maret 2014, aku merasa mual dan hasil testpack positif. Syukurlah. Selang beberapa bulan, aku nyidam ikan asin dan sate kambing. Saat itu rasanya begitu nikmat. Sampai akhirnya usia kandungan menginjak 32 minggu, aku jadi sering pusing, kaki bengkak, dan susah tidur. 

Kemudian aku periksa ke sebuah klinik bersalin di Jakarta. Ternyata tekanan darahku 200/120 mmHg! Astagfirullah ... Aku menginap selama 10 hari dengan beragam terapi yang dokter beri. 

Waktu persalinan tiba. Pada 29 September 2014, aku menjalankan SC pada pukul 07.15 WIB dan keluar pukul 08.30 WIB. Begitu tangisan pertama malaikatku terdengar, sungguh bahagianya aku menjadi seorang ibu. Usainya, aku dibawa ke ruang VIP B Mawar, tempat keluargaku menunggu. Sayangnya, bayiku yang terlahir prematur dengan berat hanya 1538 gram harus dibaringkan di dalam incubator Ruang Seruni.

Esok harinya ketika badanku pulih, kuantarkan ASI untuknya. Selalu begitu hingga 4 hari pasca oprasi dan dokter membolehkanku pulang. Tapi tidak dengan bayiku, karena beratnya belum mencapai 2500 gram. Selang 2 minggu kemudian, ada kabar kalau bayiku terkena infeksi. Lutut ini jadi gemetar dan lemas melihatnya kurus dan warna kulitnya kuning. Aku menyalahkan diri sendiri karena tidak menjaga pola makan selagi hamil. 

Kemudian, aku bertemu seorang ibu yg bernama Dina. Anaknya juga prematur dan dirinya sewaktu hamil diagnosa preeklampsia berat (PEB), sama seperti diriku. Ia berkata, "Umi Al, tengokin dedek tiap hari dong biar dia semangat melawan penyakitnya. Anak lebih senang dijenguk setiap hari, sama seperti teman-temannya di sini yang juga ditengokin ayah bundanya tiap hari." 

Dari situlah lalu aku dan suami tinggal di Jakarta untuk membawakan ASI dan menyemangati bayi kami tiap hari. Alhamdulillah ... setelah 3 minggu dirawat, bayi kami diperbolehkan pulang. Sekarang, 29 Januari 2015, genap 4 bulan usianya dan sudah 5800 gram. Malaikatku juga pintar dan aktif. Alhamdulillah ...


Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27 Aksara, 2015)

Penulis: Dita Susilawati, seorang bidan yang memiliki hobi membaca ini tinggal di jalan raya Tanjung Lesung KP Neglasari RT. 02/01 DS. Panimbang Jaya Kec. Panimbang Kab. Pandeglang Banten. Ibu muda berkelahiran Pandeglang,14 Februari 1991 bisa dikontak via akun facebook Dita Susilawati.

Dita Susilawati
Memasuki trisemester ketiga kehamilan, banyak hal yang harus dipersiapkan ibu hamil, karena semakin matang persiapan, maka insyaallah semakin tenang saat persalinan. Nah, berikut ini beberapa persiapan yang saya lakukan sebelum persalinan:

1. Siapkan Mental
Melahirkan adalah peristiwa yang menegangkan, tapi bukan berarti kita harus panik dan ketakutan. Bersikap tenanglah. Ingatlah bahwa tinggal selangkah lagi kita akan bertemu dengan bayi mungil yang selama 9 bulan telah didambakan.

2. Tentukan Tempat Melahirkan

Tempat dimana kita bersalin, sangat penting untuk direncanakan terlebih dahulu. Jarak dan jalur tempuh adalah hal penting yang bisa dijadikan patokan dalam menentukannya. Di rumah, di klinik, atau di rumah sakit, tergantung kenyamanan kita. Kondisi ruangan bersalin sangat berpengaruh pada kondisi psikis kita nantinya.

3. Siapkan Perlengkapan Ibu dan Bayi

Semua keperluan ibu untuk persalinan dan setelah melahirkan, serta keperluan bayi dapat dipersiapkan paling tidak 4 minggu sebelum HPL. Berbelanja keperluan ibu dan bayi tentu sangat menyenangkan. Tapi sebaiknya, jangan langsung memborong, sebab tidak semua yang kita beli nantinya akan terpakai. Untuk ibu, perlengkapan yang harus dipersiapkan adalah peralatan mandi, baju ganti berkancing depan untuk menyusui, bra dengan ukuran yang sesuai, gurita ibu, pembalut, serta pompa ASI bila diperlukan. Sedangkan perlengkapan bayi meliputi popok, selimut, sarung tangan, kaos kaki, bantal, perlak, pakaian, tutup kepala, minyak angin, minyak telon, baby oil, sabun dan shampo. Masukkan semua perlengkapan itu dalam tas, letakkan di tempat yang mudah dijangkau jika tiba waktunya pergi ke tempat bersalin.

Belanja perlengkapan bayi

Selain 3 hal penting di atas, sebaiknya kita juga mempersiapkan diri dengan latihan-latihan yang akan mendukung persalinan. Jika semua persiapan telah matang, insyaallah kita akan lebih tenang dalam melaluinya. Tentu saja, dukungan dari orang terdekat seperti suami dan keluarga sangat dibutuhkan agar kita tidak stress sendiri karena khawatir persiapan kurang tepat atau persiapan persalinan ada yang terlewati.
NewerStories OlderStories Home