Berharap Kabut Asap Segera Lenyap

Sebagai seorang ibu, siapa yang tak teriris hatinya ketika melihat bayi berusia 15 bulan, harus terhenti kehidupannya lantaran asap? Beberapa hari lalu, postingan itu melintas di beranda facebook saya. Ada air mata yang hampir menetes, teringat bayi saya yang kini hampir berusia 14 bulan. Tapi cepat-cepat saya tepis bayangan si kecil. Tidak, saya bahkan tak mau membayangkan bayi yang telah 9 bulan saya kandung dan kemudian lahir dengan penuh perjuangan itu berada di posisi yang sama. Saya tak ingin, bahkan sekedar memikirkan betapa tak berharganya kehidupan setelah kehilangan buah hati yang sama artinya dengan kehilangan masa depan.

#DaruratAsap #MelawanAsap masih menjadi topik hangat di media sosial sejak sebulan yang lalu. Riau-Jambi-Palembang-Palangkaraya dalam kondisi udara terparah dalam sejarah kabut asap di Indonesia. Sayangnya, informasi mengenai keadaan tersebut sampai saat ini belum menjadi berita utama di televisi nasional. Bahkan, berita mengenai bayi yang meninggal itu pun, hanya melintas sekali lewat. Saya baru bisa menemukan fakta-fakta korban berjatuhan hanya ketika mencarinya di google yang kemudian merujuk saya ke situs-situs berita lokal.

Banyak yang mendesak pemerintah untuk segera menanggulangi kabut asap ini. Banyak yang berempati dan mengulurkan bantuan sebisanya. Tapi banyak pula yang kemudian nyinyir, mengatakan bahwa kabut asap adalah bencana buatan manusia di daerah dimana kabut asap melanda. Yang salah bukan pemerintah pusat, yang salah adalah rakyat yang membiarkan lahan-lahan dikuasai oleh perusahaan yang melakukan pembakaran. Yang salah adalah rakyat yang tak becus memilih pemerintah daerah setempat. 

Memang, mungkin salah bila kita mutlak menyalahkan pemerintah pusat. Tapi bagaimana dengan mereka? Salahkah bayi dan balita yang menderita ISPA? Salahkah siswa yang kegiatan sekolahnya diliburkan? Salahkah anak-anak yang tak lagi bisa keluar untuk sekedar main di halaman? Tahukah mereka tentang perusahaan yang melakukan pembakaran? Memilihkah mereka ketika PILKADA dilaksanakan? Lalu, mereka yang tidak tahu menahu itu mengapa ikut menjadi korban?

Saya tahu, kabut asap memang bukan bencana nasional. Asap tak seperti Tsunami dan gempa bumi. Asap tak seperti puting beliung dan letusan gunung api. Tapi bayangkan rasanya jika pagi-siang-sore-malam diasapi, setiap hari!

Mungkin karena itulah akhirnya banyak yang curhat di jejaring sosial. Hampir 2 bulan menghirup udara dengan kategori berbahaya rasanya memang sangat menyiksa. Saya sendiri yang harus bolak balik rumah - toko pada pagi dan sore hari sering merasa sesak, sakit kepala, dan mual ketika sampai di rumah. Saya yang masih sehat-bugar ini saja butuh perjuangan untuk bisa menembus asap, apalagi mereka yang mungkin renta, hamil, atau bayi dan balita? 

Tapi biarlah mereka yang tidak merasakan mata perih dan dada sesak tetap bahagia dengan udara yang dihirupnya. Menyuruh mereka untuk tinggal bersama kita, apalagi sampai mendoakan mereka mengalami hal yang sama, kesannya egois sekali. Saya sih masih bersyukur, meskipun berasap, PLN dan PDAM sering mati, tapi Palembang tidak terkena bencana alam yang dapat sekali hantam menghancurkan rumah kita, seperti yang pernah dialami daerah lain. Semua ada bagiannya masing-masing. Jangan berkecil hati dan merasa bukan bagian dari Indonesia. Jangan sampai kita terpecah-belah lantaran merasa paling tersiksa.

Seperti badai yang pasti berlalu, asap ini pun nantinya akan lenyap. Maka, teruslah berharap. Karena harapan membuat kita mampu lebih lama bertahan. Jangan skeptis pada pemerintah. Karena bagaimanapun, merekalah yang punya kemampuan dan tanggung jawab untuk bertindak menyelesaikan masalah ini. Tak mungkin mereka sama sekali tak peduli. Memang, penyelesaiannya agak lambat, tapi bukan berarti kita berhak atau malah latah mencaci-maki. Kalau saya, cuma bisa kasih tips ini, baca: Kabut Asap dan Kesehatan Anak

Yang terpenting, jangan pernah berhenti berdoa. Karena ada yang jauh lebih kuasa dari kuasanya pemerintah, dari daya upaya kita. Bisa jadi kabut asap ini sebenarnya adalah kabut cinta dari-Nya. Toh, lewat kabut asap kita jadi tahu betapa berharganya udara bersih untuk bernafas. Kita juga bisa belajar lebih bersyukur dan bersabar. Dan mengutip statusnya Bang Tere, "...Allah tidak akan menguji melebihi kemampuan kita. Saat manusia tidak bisa menanggung lagi beban ini, Allah akan menyelesaikannya, mudah sekali bagi Allah mengirimkan hujan, tapi Allah menunggu, siapa sebenarnya yang memang peduli dan kongkret."

Kabut Asap pagi di Simpang Dogan
30 September 2015, 07.50 WIB



NewerStories OlderStories Home

0 komentar:

Post a Comment