Anak ASI atau Anak Sufor?

ASI dan Susu Formula (Sufor) seringkali dibuat seakan bermusuhan. Keduanya diadu-adu mana yang terbaik bagi bayi. Ibu-ibu yang berhasil memberi ASI eksklusif pada bayinya, kadang lupa diri dan mem-bully ibu lain yang memutuskan untuk memberi sufor. Padahal, keputusan untuk tidak ASI eksklusif adalah sesuatu yang sangat berat mengingat setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi buah hatinya. Dan, mayoritas kita meyakini bahwa ASI-lah makanan terbaik bagi bayi.

Seperti yang pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya, (baca: Ketika Baby Blues Syndrome Menyerang), ASI saya baru keluar di hari ke-4 pasca persalinan. Bayi saya telah diberi sufor dengan dot sehingga ia bingung puting. Terlebih lagi dengan puting yang rata dan kurangnya pengetahuan tentang laktasi, membuat saya kewalahan tiap kali mencoba menyusui. Saya telah mencoba beberapa posisi, juga mencoba menyambung puting. Tapi kadang, prosesi menyusui tetap berakhir dengan helaan nafas panjang dan kekecewaan ketika melihat si kecil yang meraung hebat diambil mama untuk diberi dot (lagi). Seperti kebanyakan ibu yang gagal ASIX, saya pun sempat merasa gagal menjadi ibu.

Tak ingin menyerah begitu saja, saya kemudian memutuskan untuk memompa ASI. Hasil pompa pertama saya tak lebih dari 10 ml, padahal sakitnya minta ampun. Meski sangat sedikit, tapi harapan saya sangat besar ketika melihat si kecil meminumnya. Yang penting bayi saya mau ASI, saya hanya perlu berusaha lebih keras lagi.

Saya mulai browsing tentang ASIP. Mulai dari cara memompa, memperbanyak ASIP, juga cara menyimpan dan menyajikan ASIP untuk bayi saya. Saya berharap nanti ia bisa lepas dari sufornya dan menjadi bayi ASI penuh.

Karena saya tidak menyusui langsung, saya harus rajin memompa ASI. Paling tidak, 2 jam sekali saya harus memompa dengan pompa ASI manual saya. Berapa pun yang saya dapat, langsung dilahap habis oleh si kecil. Itulah yang kemudian membuat saya bersemangat. Saya rela meski harus bolak-balik mencuci pompa, saya rela bangun sendirian malam-malam untuk memompa sebelum bayi saya bangun dan merengek haus. Saya rela menghabiskan waktu saya demi kucuran ASI itu. Dalam sehari minimal saya memompa 10 kali. Satu kali memompa setidaknya setengah jam waktu yang saya butuhkan. ASI yang awalnya sedikit itu lambat laun jadi melimpah. Bayi saya memang tidak sepenuhnya lepas sufor, tapi ia mengonsumsi ASI jauh lebih banyak dari sufor. Sufor dibuat hanya untuk menunggui saya bila belum selesai memompa sementara si kecil keburu lapar. Itu pun kemudian sufornya dibuang ketika ASI saya siap.

Bayi saya tumbuh sehat dan gemuk. Di hari ke-30 kelahiran, beratnya sudah 5 kg. Di umur 2 bulan, beratnya naik menjadi 6,5 kg. Tentu saja saya bahagia sekali. Perjuangan saya tak sia-sia rasanya. 

Saya berusaha sebisa mungkin untuk menepati jadwal memompa yang sebenarnya berat dan banyak godaannya. Rasa capek, rasa kantuk, kadang juga rasa malas menyerang, tapi seolah telah saling membutuhkan, saya tak bisa dengan sengaja meninggalkan rutinitas itu. Pernah tanpa sengaja saya melewatkan 1 jadwal memompa, saya langsung demam. Mungkin karena produksi ASI yang melimpah membuat saya harus terus menyalurkan ASI itu agar tidak bengkak yang berujung demam.

Semakin besar, rupanya kebutuhan ASI si kecil meningkat. Saya sering kejar-kejaran memompa karena hasil pompa yang tadinya cukup untuk 2 kali minum, jadi cukup untuk satu kali saja. Saya tidak menyimpan ASI di kulkas seperti kebanyakan ibu bekerja menyetok ASI-nya. Tidak, saya pernah mencoba melakukan itu, tapi bayi saya menolak ASI yang telah dihangatkan. Beberapa kali mencoba, ASI saya terbuang percuma karena si kecil tak mau meminumnya.

Saya mulai kesulitan mematuhi jadwal memompa ketika saya kembali membantu suami di toko. Saya berkeras untuk membawa si kecil bersama saya. Apalagi bayi saya juga suka keluar. Di toko tanpa bantuan mama, membuat saya sering melewatkan jadwal memompa karena tak ada yang menjaga si kecil jika saya memompa. Apalagi saat itu ia mulai bisa merangkak. Memompa yang sejatinya butuh ketenangan tak akan berhasil jika terus-terusan was-was mengawasi si kecil. Ditambah lagi jika suami keluar dan saya berdua si kecil yang menjaga toko, saya tak mungkin bisa memompa karena takut kalau-kalau ada pelanggan yang datang. Karena itu, saya mulai sering demam. ASI saya pun mulai ngambek. Produksinya tak lagi sebanyak dulu, padahal, bayi saya butuh ASI yang lebih banyak lagi.

Karena kurang, maka sufor yang tadinya hanya untuk ngedot bohongan itu kemudian beralih menjadi penyambung ASI. Semakin bertambah kepintarannya, saya pun makin morat-marit memompa karena harus ekstra menjaganya yang mulai berdiri dan merayapi meja. Keadaan mulai berbalik, sufor kini mendominasi. ASI saya makin seret. Beberapa cara saya coba untuk mengembalikan produksinya, tapi tidak berhasil karena saya pun sebenarnya tahu pasti bahwa jadwal memompa yang tak teratur itulah masalahnya.

Sampai usia bayi saya masuk ke 14 bulan, saya masih berusaha untuk memberikan ASI meski produksinya jauh dari cukup. Dari yang memompa 2 jam sekali, menjadi 2 kali sehari, dan sekarang 1 kali sehari dengan hasil tak lebih dari 30 ml. Sedih, tapi untung si kecil sudah bisa makan. Jadi kebutuhannya tetap terpenuhi.

Maka, jika saya melihat postingan yang kesannya menyudutkan para ibu yang tak bisa ASIX, rasanya tak adil sekali. Karena saya yakin, seperti halnya saya, ibu yang akhirnya memberi sufor pada bayinya juga telah lebih dulu berusaha keras agar si kecil menerima haknya. Saya kagum pada ibu-ibu yang berhasil ASIX, tapi nyesek jika ibu-ibu itu lantas mendiskreditkan anak yang minum sufor. ASI memang yang terbaik, tapi bukan berarti anak yang tidak ASIX itu buruk.

Jadi, kalau ditanya orang, "Si kecil anak ASI atau anak sufor?"
Cukup jawab, "Ini anak saya!"

Ini anak saya!
NewerStories OlderStories Home

0 komentar:

Post a Comment