Tanggal 6 Mei 2013, aku bersama beberapa orang rekan guru sedang duduk-duduk di ruang jaga. Seorang teman lalu menawariku bekal nasi gorengnya. Ia memintaku mencicipi, sedangkan dia sendiri meninggalkan kami karena ada sedikit urusan. Satu-dua sendok kulahap, sampai akhirnya ketika Ibu Nina, pemilik bekal datang, aku baru sadar kalau bekalnya habis kumakan. Sungguh tak enak hati, beruntung beliau tidak marah sama sekali.
Aku heran dengan kondisiku sekarang, sering lapar, sakit kepala berlebih dan kram perut yang teramat sangat. Walau belum tepat sebulan menikah, kuberanikan diri membeli testpack. Hasilnya nihil, aku dan suami hanya menghela nafas dalam. Mungkin memang belum rezeki kami.
Beberapa hari kemudian, aku mendapati bercak darah pada celana dalamku. Kupikir akan menstruasi, tapi belum jadwalnya. Kegiatan kulanjutkan dengan mencuci seember baju. Darah menstruasi tidak kunjung datang, pun bercak yang tadi timbul malah menghilang.
Keesokan harinya, kami menginap di rumah mertua. Aku memberanikan diri membeli testpack lagi. Alhamdulillah, kudapati 2 garis merah. Kontan aku berteriak kegirangan sampai suami kaget dan berlari ke arahku. Tak terkira kebahagiaan kami, sekaligus dari mertua maupun orang tuaku. Janin ini akan jadi cucu pertama mereka.
Tapi kebahagiaan runtuh saat kudapati darah yang cukup banyak pada pagi harinya. Aku sesenggukan, menyalahkan diriku karena bekerja terlalu berat tanpa memikirkan si jabang bayi. Semua orang termasuk suami dan orangtua tak henti-hentinya menghiburku. Aku hanya bisa bersabar sambil terus berdoa agar janinku masih bisa diselamatkan. Saat itu tepat hari Minggu, hari dimana semua dokter kandungan tidak membuka tempat prakteknya.
Senin, kami membuat janji dengan dokter kandungan setempat. Hasilnya ternyata aku hamil dua minggu. Tapi kami kembali menelan pil pahit karena aku terancam keguguran. Aku diharuskan bedrest selama seminggu. Walaupun bedrest, aku masih saja mendapati bercak darah dan kram perut yang acapkali menghampiri. Akhirnya kuputuskan untuk menginap di rumah sakit.
Di rumah sakit, aku merasa mual luar biasa. Jangankan untuk makan, minum pun aku tidak bisa. Akhirnya aku diinfus, semua obat dimasukkan lewat itu. Setelah 3 hari, dokter mengizinkanku pulang karena bercak darah sudah tidak ada. Namun aku masih diharuskan bedrest di rumah selama 3 hari.
Saat kandunganku berusia 7 bulan, kembali kudapati bercak darah dan rasa mulas! Apa ini pertanda aku akan melahirkan dini? Aku ketakutan. Semua orang di rumah pun kelabakan. Kami lalu pergi ke tempat praktek dokter kandungan. Dokter kemudian memeriksa bukaan dengan cara memasukkan jarinya dan mendorong perutku. Aku meringis kesakitan.
Dokter mengatakan gejalaku sebagai tanda melahirkan dini. Karena paru-paru sang calon bayi belum kuat, maka kami harus mengusahakan agar bukaan tidak terus bertambah. Aku pun menginap lagi di rumah sakit, diinfus lagi. Dokter juga menyuntikkan obat untuk memperkuat paru-paru calon bayiku.
“Nak, kamu ingin bertemu Mama, ya? Mama juga... Mama sayang Adek! Kalau Adek sayang Mama, jangan keluar dulu. Paru-paru kamu belum kuat. Bantu Mama berdoa ya biar Allah mempertemukan kita dalam keadaan sehat wal’afiat,” ucapku sambil mengelus-elus perut.
Alhamdulillah, Allah mendengar doa kami. Bukaan tidak bertambah, kontraksinya juga hilang. Aku akhirnya diizinkan untuk pulang, dengan syarat tidak kerja berat lagi. Tanggal 26 Desember 2013, kudapati bercak darah tapi tidak menghiraukannya. Mungkin karena terlalu capek dan banyak pikiran. Keesokan harinya, bercak darah ternyata muncul lagi! Segera aku periksa ke rumah sakit swasta. Karena dokter sedang mengoperasi seorang pasien, aku diperiksa bidan senior. Alangkah kagetnya dia saat ketubanku sudah pecah tapi bukaan tidak bertambah. Diambilnya alat pemeriksa denyut jantung janin. Denyut jantungnya terdengar cepat sekali sehingga bidan menyarankanku untuk operasi.
Selama di dalam ruang operasi, aku terus berdoa agar Allah SWT mempertemukan kami dalam keadaan sehat wal’afiat. Berkali-kali aku tak sadarkan diri akibat pengaruh obat bius, hingga tiba-tiba kudengar tangisan bayi. Perlahan aku membuka mata dan kulihat dokter sedang menggendong seorang bayi.
“Selamat ya, anaknya laki-laki,” kata dokter itu.
Sungguh aku begitu bersyukur. Walaupun si kecil sempat diberi oksigen, tapi aku bisa melahirkan bayi sehat dengan panjang 46 cm dan berat 3,1 Kg. Dia adalah anugerah terindah dalam hidup kami.
Dimuat dalam buku Nikmatnya Jadi Ibu (27Aksara, 2015)
Penulis: Dita Andini. Seorang ibu rumah tangga pecinta kuliner dan traveling. Lahir pada 24 September 1990. Tinggal di jalan Sisingamangaraja lorong Simaja 1 No.26 Palu, Sulawesi Tengah. Bisa dihubungi melalui akun facebook Dita Andini.
![]() |
Dita Andini |
0 komentar:
Post a Comment